Found 2 bookmarks
Newest
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟)
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟)
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟) / Vihara Tanda Bhakti Berlokasi di pinggir kali Krukut, tepatnya di Jl. Kemenangan III Gang 6 no 97, Blandongan, Kelenteng ini memiliki tampilan arsitektur yang unik. Klenteng Tan Seng Ong ini juga merupakan (tuan) rumah bagi sang Dewa Pelindung, Tan Seng Ong. Menurut buku Da Jiang Hao Hai Yin Hua Fung Yu, Klenteng Tan Seng Ong berdiri sejak 1756. Dibangun pasca peristiwa Geger Pecinan, suatu peristiwa sadis pembunuhan lebih dari sepuluh ribu etnis Tionghoa di Batavia oleh tentara Belanda pada saat itu. Akibatnya sebagian besar orang Tionghoa yang bermukim di Batavia dan Jawa Barat menjadi orang pelarian ke daerah sekitar Jawa Tengah dan ikut serta memberontak dan menentang Belanda. Mereka lalu bergabung dengan masyarakat suku Jawa yang juga melawan VOC dan mengobarkan Perang Sepanjang di pulau Jawa, yang berlangsung selama 4 tahun (1740-1743). Pasca peristiwa tersebut, selama beberapa tahun Batavia menjadi kota mati. Setiap hari masyarakat Tionghoa sembahyang kepada Dewata yang dibawa serta dari kampung halaman, salah satunya yaitu Tan Seng Ong. Sedikit mengenai riwayatnya, dulunya Tan Seng Ong yang kelahiran tahun 657 dan hidup sampai tahun 711 adalah seorang pejabat militer dan pendiri daerah Zhang Zou, Provinsi Fujian di Tiongkok. Beliau bernama Chen Yuan Guang, yang hidup pada jaman Dinasti Tang, masa pemerintahan Kaisar wanita Wu Ze Tian. Di Indonesia, pemujaan terhadap beliau dimulai dari kaum imigran Hokian yang bermarga Tan (Chen) yang berasal dari Zhang Zhou dan Quan Zhou, yang meninggalkan kampung halaman dan menyeberangi lautan untuk mencari mata pencaharian dan membawa serta budaya penyembahannya ke tempat pemukiman baru untuk sembahyang meminta dan berharap agar masyarakat setempat juga terlindungi, hidup selamat, harmonis dan aman sentosa. Komunitas Hokkian di Batavia pada masa itu cukup besar, mereka pada masa yang suram dan penuh derita itu ikut serta membangun Batavia dengan salah satu peninggalannya adalah Klenteng Tan Seng Ong ini. Bio Tan Seng Ong Jakarta adalah lambang, tanda dan gambaran pergulatan hidup nenek moyang Tionghoa sejak ratusan tahun lalu, dengan jerih payah menebas onak dan duri, mengatasi bencana dan musibah khususnya pasca Peristiwa Geger Pecinan dan terus bertahan hingga saat ini. Sejak tahun 2014 lalu, Klenteng Tan Seng Ong mendapatkan pengakuan khusus dari Pemerintah Indonesia melalui Pemprov DKI Jakarta, menjadikan kelenteng ini sebagai salah satu warisan sejarah dan ragamnya budaya yang bernilai di tanah air. Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟)
Lapangan Glodok & Gong Xi Fa Cai
Lapangan Glodok & Gong Xi Fa Cai
Kawasan Pintu Kecil (dulu bernama Pintoe Ketjil) tidak jauh dari kawasan Pecinan Glodok semasa Batavia Kehadiran etnis Tionghoa di Kota Batavia tidak hanya membuat roda perekonomian di kota ini menjadi berputar tetapi juga ikut memberi warna tersendiri bagi sebuah kota yang dibangun Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal wilayah kongsi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang keempat dan keenam. Pada masa jabatan pertama ia memerintah pada 1619–1623 dan untuk masa jabatan yang kedua berlangsung pada 1627–1629. Salah satu warna tersendiri yang hingga kini terus melekat adalah tradisi perayaan yang dilaksanakan oleh penduduk Kota Batavia keturunan Tionghoa. Suasana Imlek Setiap ada perayaan, sudut-sudut Kota Batavia menjadi lebih semarak. Keramaian tersebut semakin terasa di sebuah lapangan yang dinamakan Glodok Plein alias lapangan Glodok. Lampu menyala terang-benderang. Warna-warna terpancar di setiap sudut. Lapangan yang berlokasi di kawasan Pecinan Glodok tersebut menjadi lebih meriah. Untuk merayakan Tahun Baru Imlek (Sin Cia), penduduk di kawasan Pecinan melakukan pelbagai persiapan. Banyak pula penduduk Kota Batavia yang non-Tionghoa yang ikut berbaur untuk melakukan persiapan perayaan tersebut. Mereka berbaur merayakan tradisi turun-temurun etnis Tionghoa tersebut. Salah satunya adalah Mat Pitak, seorang pegawai partikelir di bilangan Gang Lo Soe Fan di daerah Patekoan (kini masuk wilayah Jakarta Kota). Mat Pitak yang Betawi asli tersebut selalu membantu mempersiapkan penyambutan Tahun Baru Imlek (Sin Cia). Ia mengucapkan selamat dengan datangnya musim semi (cun) dan biarlah murah rezeki dan panjang umur. Etnis Tionghoa sangat menantikan Tahun Baru Imlek (Sin Cia) dengan harapan bisa mendapat rezeki yang banyak dan berumur panjang. Warna-warni Kue Apam Setiap Tahun Baru Imlek tiba, tidak akan afdol tanpa kehadiran pelbagai makanan yang bisa dibilang sebagai sajian wajib yang tidak boleh ditinggalkan. Salah satunya adalah kue keranjang yang diartikan sebagai kecukupan dan kekal dalam keluarga. Kue keranjang Selain itu, juga harus ada teh-liauw atau manisan yang menjadi simbol penghidupan yang manis dan lancar. Semuanya itu kemudian dilengkapi dengan kehadiran kue apam yang bagi tradisi Tionghoa diperlambangkan sebagai pengharapan. Artinya, segala apa yang mulanya kecil, lama-kelamaan menjadi besar dan berbunga-bunga kemerah-merahan seperti bagian permukaan kue apam tersebut. Sumber: www.sinarharapan.co/metropolitan/read/32292/glodok_plein__kue_apam_dan__gong_xi_fa_cai_
·tionghoa.org·
Lapangan Glodok & Gong Xi Fa Cai