Found 11 bookmarks
Custom sorting
Phoa Keng Hek : Tokoh pendiri ITB Yang Terlupakan
Phoa Keng Hek : Tokoh pendiri ITB Yang Terlupakan
Pahlawan Besar Bangsa Indonesia Dari Etnis Tionghoa, Phoa Keng Hek (Hanzi: 潘景赫, Pinyin: Pān Jǐnghè). Sosok Yang Terlupakan. Nama-nama besar pahlawan bangsa seperti Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, Rahmah El Yunusiah, Dewi Sartika, KH Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan dll seringkali kita mendengar nama dan kiprahya disebut. Namun, adakah yang pernah mendengar nama : Phoa Keng Hek ? Nama ini nyaris dilupakan oleh bangsa Indonesia, bahkan oleh kalangan etnis Tionghoa sendiri, padahal beliau adalah perintis pendidikan modern pertama di Indonesia, yaitu sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tahun 1901, jauh lebih awal dari sekolah Muhammadiyah, NU maupun Taman Siswa. Sekolah THHK menyebar hampir keseluruh pelosok Indonesia, jumlahnya mencapai sekitar 130an sekolah. Phoa Keng Hek, sangat dihormati oleh kalangan etnis Tionghoa dan etnis lainnya, termasuk oleh pihak kolonial Belanda. Phoa termasuk orang yang berjasa besar dalam mendirikan ITB, bersama 2 tokoh lainnya dari kalangan Tionghoa yakni H. H. Kan dan Nio Hoey Oen, mereka berjasa besar dalam mengumpulkan uang sebesar 500 ribu gulden, guna menyiapkan segala kebutuhan berdirinya ITB, satu hal yang tidak sanggup dilakukan oleh penjajah Belanda kala itu. Lahir di Bogor tahun 1857, beliau adalah anak dari seorang kaya bernama Phoa Tjong Tjay, yang juga pemimpin kalangan Tionghoa (Letnan) di Jatinegara, Batavia. Kekayaannya selain digunakan untuk mengembangkan dunia pendidikan juga untuk hal sosial lainnya. Diantara tindakannya yang sangat fenomenal adalah meminta pemerintah Belanda untuk menutup tempat perjudian atau kasino, karena Phoa prihatin betapa membahayakannya tempat perjudian bagi masyarakat luas. Banyak orang miskin yang memerlukan uang, menjadikan perjudian sebagai cara cepat untuk menyelesaikan masalah, tapi hal tersebut justru semakin menyengsarakan. Yang tidak masuk akal adalah Phoa bersedia mengganti uang ke kas pemerintah belanda akibat ditutupnya kasino tersebut. Bayangkan berapa banyak uang yang harus disetor atau dibayarkan oleh Phoa Keng Hek tersebut. Orang ini memang sosok langka, jabatan pemimpin Tionghoa (Kapiten) juga ditolaknya. Padahal jabatan itu diperebutkan bahkan diimpikan oleh orang-orang lainnya. Salut! Pengorbanan tersebut adalah catatan sejarah yang harus ditulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia, tidak mudah menemukan orang kaya dengan perilaku seperti itu. Beliau adalah satu tokoh pemimpin besar bangsa Indonesia, seorang yang sanggup memimpin bukan karena jabatan dan kursinya, tetapi karena tindakan dan budi pekertinya. Kita Sebangsa, Setanah Air dan Setara Sumber: 1. Riwajat 40 Taon THHK Batavia 2. Memoar Ang Yan Goan. Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Phoa Keng Hek : Tokoh pendiri ITB Yang Terlupakan
Vivian Tjung : Pemain Sasando Alat Musik Petik Khas NTT
Vivian Tjung : Pemain Sasando Alat Musik Petik Khas NTT
Vivian Tjung : Pemain Sasando Alat Musik Petik Khas NTT Sosok muda sarat prestasi tersebut ternyata merupakan keturunan dari Ang Hauw Lang, pejuang asal NTT, yang memiliki jasa besar meneruskan surat-surat dari dan ke Bung Karno selama masa pembuangan di Ende (1934-1938). Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Vivian Tjung : Pemain Sasando Alat Musik Petik Khas NTT
Peran Orang-Orang Tionghoa Dalam Sumpah Pemuda 1928
Peran Orang-Orang Tionghoa Dalam Sumpah Pemuda 1928
Peran orang-orang Tionghoa dalam Sumpah Pemuda 1928 amatlah besar, selain menyediakan tempat, di rumah Sie Kong Lian, juga ikut dalam Kongres tersebut, beberapa nama yang tercatat adalah Kwee Thiam Hong, Oey Kay Sing, John Liau Tjoan Hok, Tjio Djin Kwie & Djohan Mohammad Tjai. Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Peran Orang-Orang Tionghoa Dalam Sumpah Pemuda 1928
Makam Kapten Inf Liem King San
Makam Kapten Inf Liem King San
Makam Kapten Inf Liem King San (1926-1976) di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar. Foto dari aksi sosial menjelang hari Pahlawan yang dilakukan oleh Generasi Muda Indonesia Tionghoa, Pemuda Katolik, KNPI & GAMKI Sulsel. Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Makam Kapten Inf Liem King San
Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende
Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende
Ang Hauw Lang dan istri (Veronica Surati) Mengunjungi Kupang, Nusa Tenggara Timur, saya amat berbahagia karena mendapatkan informasi penting dari bapak Theo Widodo, seorang tokoh masyarakat dan juga merupakan pimpinan Perhimpunan INTI Indonesia Tionghoa) NTT. Pak Theo menyampaikan kepada saya tentang kisah sosok pejuang bernama Ang Hauw Lang. Satu kehormatan juga diperkenalkan dengan keturunan (cicitnya) bernama Melly. Ang Hauw Lang (AHL) adalah tokoh penting yang hadir mengisi ruang sejarah bangsa ini pada saat Bung Karno diasingkan ke Ende pada tahun 1934 sd 1938. Dalam film berjudul “Ketika Bung Di Ende” (produksi tahun 2013, didanai oleh Kemendikbud) yang diantara pemerannya adalah Baim Wong dan Paramita Rusady itu, sosok AHL ikut ditampilkan dalam beberapa adegan. Peran AHL kala Bung Karno diasingkan adalah menjadi penyampai surat-surat dari Bung Karno kepada kawan-kawan seperjuangannya di pulau Jawa dan juga sebaliknya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan baik karena beliau adalah seorang pengusaha yang berniaga antar pulau saat itu. Bukan hal yang mudah dapat melakukan kegiatan berbahaya tersebut, karena sebagai tahanan politik, Bung Karno diawasi secara ketat oleh pihak Belanda, siapa pun yang tampak berhubungan dengannya dipastikan menimbulkan kecurigaan dari pihak Belanda. Bagaimana tidak diawasi, Bung Karno adalah tokoh penting penggagas kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa Belanda. Keberanian AHL untuk menjadi kurir bagi surat-surat penting tersebut mendapatkan apresiasi tinggi dari Bung Karno, bahkan beliau menganggap AHL sebagai bapak angkatnya. Ada satu kisah menarik yang peristiwanya teejadi setelah kemerdekaan, yakni sekitar awal tahun 1960an. Dalam suatu kesempatan, beliau mendatangi langsung istana kepresidenan di Jakarta dan memberitahukan kepada para penjaga jika beliau ingin bertemu presiden, “Saya ingin berjumpa Nak Karno!” begitu ujarnya. Mengetahui AHL yg datang, Bung Karno menyambut dan menerima beliau di istana. Selama di Jakarta, AHL diberikan penginapan di Hotel Indonesia. Ada peristiwa lainnya yang menarik dan menyentuh hati, yakni penolakan beliau terhadap permintaan Bung Karno agar jika nanti meninggal dunia dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Alasan penolakan adalah beliau ingin nantinya dimakamkan berdampingan bersama istri tercinta (Veronica Surati), yang tentu saja hal tersebut tak dapat diwujudkan jika beliau dimakamkan di TMP. Keinginan mulia yang akhirnya terwujud. Ketika Ang Hauw Lang meninggal dunia (15 Januari 1963) melalui utusannya, Bung Karno mengirimkan karangan bunga dan bendera merah putih besar menutupi peti dan tulisan yang menerangkan jika Ang Hauw Lang adalah Pejuang Kemerdekaan. Dan ada kesaksian lain yang perlu ditelusuri kebenarannya lebih jauh, bahwa prosesi pemakamannya juga dilakukan secara militer yakni dengan iringan tembakan salvo. Peran beliau adalah bagian penting dari sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa, seperti setiap potongan puzzle yang menjadi bagian penting untuk dapat membentuk suatu gambar yang utuh. Tugas kita sebagai generasi penerus utk mengenang dan meneladani jasa-jasanya. Dari perjalanan kemarin, saya masih mendapatkan potongan-potongan cerita tak lengkap tentang beliau, amatlah menyedihkan jika nantinya nama beliau benar-benar terlupakan. Kisah-kisah seperti ini akan lenyap jika hanya mengandalkan cerita dari mulut ke mulut, dan inilah yang terjadi pada peran sejarah perjuangan orang-orang Tionghoa di indonesia, saatnya untuk mencatat dan mengabarkannya. Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende By Azmi Abubakar Senin, 27 Desember 2021 Sumber: https://geotimes.id/kolom/ang-hauw-lang-1897-1963-pejuang-kemerdekaan-dari-ende/ Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende
Tan Liong Houw : Macan Betawi Bintang Sepakbola Nasional Persija Indonesia
Tan Liong Houw : Macan Betawi Bintang Sepakbola Nasional Persija Indonesia
Sejak 1960an bintang terang Fattah Hidayat semakin moncer di dunia sepakbola nasional. Fattah Hidayat bersama rekan abadinya yakni Tan Liong Houw si Macan Betawi menjadi duet mengerikan lini depan Persija. Foto: Azmi Abubakar Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Tan Liong Houw : Macan Betawi Bintang Sepakbola Nasional Persija Indonesia
Go Tik Swan, Maestro Batik Keturunan Tionghoa
Go Tik Swan, Maestro Batik Keturunan Tionghoa
Go Tik Swan (Hardjonagoro) bersama Presiden Soekarno dalam sebuah acara di Istana Negara Namanya Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) Hardjonagoro. Dari gelar yang disandang di depan namanya sudah pasti ia adalah sosok penting yang di dalam raganya mengalir “darah biru” dari sebuah kesultanan atau kerajaan di Pulau Jawa. Bukan, ia hanyalah seorang rakyat biasa, dan terlahir sebagai keturunan Tionghoa. Sumbangsihnya terhadap pelestarian budaya Jawa-lah yang membuat Keraton Surakarta menganugerahinya gelar prestisius tersebut. Go Tik Swan, sebuah nama yang diberikan ayahnya, Gho Ghiam Ik, seorang penguasaha batik ternama di Surakarta kepadanya ketika lahir di Desa Kratonan, Serengan, Surakarta pada 11 Mei 1931 silam. Di kemudian hari Tik Swan menjelma menjadi seorang keturunan Tionghoa yang sangat mencintai dan dianggap sebagai pelestari budaya Jawa, melebihi orang-orang yang memang terlahir sebagai orang Jawa. Peraih anugerah Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini telah menciptakan 200 motif batik yang terkenal dengan trade marknya, Batik Indonesia. Sebagai anak dari keluarga terpandang maka Saat menginjak usia 7 tahun Tik Swan menempuh pendidikan dasarnya di Neutrale Europesche Lagere School (NELS) di Surakarta. Sebuah sekolah yang latar belakang siswa-siswinya berasal dari kalangan keluarga terpandang seperti warga keraton, anak-anak ningrat, pemuka masyarakat, serta pejabat. Namun, kesibukan kedua orang tuanya membuat Tik Swan lebih banyak diasuh oleh kakeknya, Tjan Khay Sing yang juga seorang pengusaha batik. Kakeknya merupakan pengusaha batik nomor satu di Solo yang memiliki empat lokasi pembatikan, yakni dua di Kratonan, dan sisanya di Ngapenan dan Kestalan. Berada di lingkungan pembatik, hari-hari Tik Swan dilalui bersama para pekerja yang membersihkan malam dari kain, mencuci, membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, menulisi kain dengan canting, dan sejumlah aktivitas pembuatan batik lainnya. Lingkungan itulah yang kemudian membentuknya menjadi seseorang yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada budaya tradisional Jawa. Tik Swan selalu terlihat anstusias ketika pada pembatik bekerja sembari menembang lagu-lagu jawa, atau ketika mendengar dongeng-dongeng yang bercerita tentang kebudayaan Jawa. Lazimnya anak kecil yang gampang berubah-ubah minat dan ketertarikannya, tidak demikian dengan Tik Swan. Ketertarikannya terhadap tradisi dan budaya justru semakin tumbuh dan subur seiring pertambahan usianya. Segala sesuatu yang berbau seni tradisional Jawa selalu menyedot perhatiannya. Gayung bersambut, tak jauh dari kediaman kakeknya di Coyudan, berdiri sebuah klenteng yang kerap mengadakan pertunjukan wayang, pertunjukan yang membuatnya sering mampir untuk menonton. Dari wayang ini pula ketertarikan Tik Swan tumbuh pada tari-tari Jawa, sehingga memutuskan berguru kepada putra Pakubuwono IX yakni G.P.H. Prabuwinata yang dikenal sebagai seniman keraton yang ahli di bidang karawitan, tari dan pedalangan. Minat Tik Swan ternyata ditentang oleh kedua orangtuanya. Namun gairahnya mendalami budaya Jawa tak terbendung. Ia mengabaikan tentangan tersebut. Orangtua Tik Swan punya cara menjauhkan putra sulungnya dari dunia tari dan ragam budaya jawa lain yang digeluti anaknya. Pada tahun 1953, ia kemudian diminta menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Cara itu ternyata tak efektif membendung seorang Tik Swan yang sedang kasmaran terhadap budaya Jawa. Tanpa sepengetahuan orangtuanya Tik Swan justru memilih kuliah di Fakultas Sastra Dan Filsafat, Jurusan Sastra Jawa UI. Di sini ia justru lebih mendalami aksara Jawa, menonton wayangan dan tari-tari Jawa. Betapa murkanya sang ayah ketika mengetahui kebohongan Tik Swan. Tak tanggung-tanggung, ayahnya mengancam segala biaya dan fasilitas ditarik. Tik Swan tetap teguh pada pilihannya dan mengabaikan ancaman sang ayah. Batik Indonesia Karena kepiawaiannya membawakan tari-tari Jawa, membuat Tik Swan sering diundang untuk tampil di berbagai pertunjukan. Dalam pentas-pentas ini Tik Swan mulai memperkenalkan nama Indonesia, yakni Hardjonagoro, yang kemudian menjadi nama panggungnya. Hardjonagoro sendiri adalah sebuah pasar di Solo yang dimiliki oleh kakek buyutnya bernama Tjan Sie Ing. Kala itu di tahun 1955 Universitas Indonesia merayakan hari ulang tahunnya. Hardjonagoro bersama rombongan tarinya berkesempatan tampil membawakan tarian Gambir Anom di Istana Negara Jakarta. Sebuah kesempatan langka tampil di hadapan Presiden Soekarno. Mengetahui salah satu penari adalah pria keturunan Tionghoa dan latar belakang keluarganya sebagai penguasaha batik turun-temurun, Presiden Soekarno menghampirinya. Sang Proklamator kemudian menyarakan kepadanya agar menciptakan batik yang mewakili identitas Indonesia, tak sekedar beridentitas lokal. Saran Soekarno bak motivasi besar bagi perjalanan hidup Hardjonagoro. Pada tahun yang sama ia memutuskan meninggalkan bangku kuliahnya, pulang ke kampung halamannya, mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya. Tak sukar baginya menemukan tempat dan guru yang tepat mempelajari batik secara holistik. Kedekatannya dengan keluarga Keraton Solo memungkinkannya belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum di tangan Hardjonagoro dikembangkan sedemikian rupa tanpa menghilangkan ciri khasnya. Pola-polanya diberi sentuhan warna-warna cerah seperti yang diajarkan Ibu Soed gurunya, pencipta lagu yang dikenal piawai dalam seni batik. Hardjonagoro juga mengembangkan motif-motif baru pada batiknya. Batik dengan warna dan motif baru seperti Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Rengga Puspita dan Pisan Bali adalah hasil eksplorasinya menciptakan Batik Indonesia. Kerja keras dan inovasi Hardjonagoro mengantarkan batik ke masa jaya di tahun 1960-1970. Ia tak hanya menciptakan batik dengan warna dan motif indah untuk mempercantik pemakainya, namun juga menjadikan batik sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi. Kesuksesan itu kembali mempertemukannya dengan sang motivator, siapa lagi kalau bukan Presiden Soekarno. Hardjonagoro kerap diundang Soekarno menjelaskan batik kepada tamu-tamu negara yang berkunjung ke Indonesia. Tak hanya itu, ia juga mendapat tugas sebagai anggota Panitia Negara Urusan Penerima Kepala Negara Asing yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pameran batik di Istana Negara, termasuk mendesain batik untuk cinderamata para tamu. Sepanjang karirnya dari tahun 1950an hingga 2008, Hardjonagoro telah menciptakan sekitar 200 motif batik Indonesia, bahkan diantaranya banyak yang menjadi koleksi museum-museum di Eropa, Amerika, Australia, serta para kolektor batik. Salah satu kolektor batiknya tak lain adalah putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri. Ia menciptakan sebuah motif yang khusus diperuntukkan bagi putri praklamator itu dan diberi nama Parang Megakusumo. Gelar Kebangsawanan Kontribusi besar perjalanan hidup Hardjonagoro dalam mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa membuatnya dianugerahi banyak penghargaan. Kedekatannya dengan keluarga Pakubuwono serta kesetiaannya mengabdi pada keraton Kasunanan memprakarsai lahirnya Art Gallery Karaton Surakarta. Hal inilah yang membuat Sri Sultan Pakubuwono XI menganugerahkan Go Tik Swan pangkat Bupati Anom bergelar Raden Tumenggung (R.T) Hardjonagoro pada 11 September 1972. Tak berhneti sampai di situ, di tahun 1984, pangkatnya kembali dinaikkan setingkat lebih tinggi, menjadi Bupati Sepuh, dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.). Begitu pula sepuluh tahun kemudian, pangkatnya kembali dinaikkan menjadi Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Hariyo Tumenggung (K.R.H.T.). Bahkan di tahun 1998 Hardjonagoro mendapat gelar pangerannya, yaitu Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) dan gelar keduanya sebagai Kangjeng Pangeran Aryo (K.P.A.) di tahun 2001. Atas jasa-jasanya sebagai budayawan dan pembatik, Presiden kenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memberikan penghargaan sebagai putra terbaik dengan tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma yang diterima ahli warisnya KRAr Hardjo Suwarno dan istrinya, Supiyah Anggriyani pada tahun 2011 lalu. Bagi Hardjonagoro bukanlah anugerah gelar atau pangkat yang ia cari, melainkan pengabdian dalam melestarikan budaya itu sendiri, dalam hal ini budaya Jawa hingga akhir hidupnya.(Rafael Sebayang) Sumber: www.validnews.id/Go-Tik-Swan–Maestro-Batik-Keturunan-Tionghoa-MxQ
·tionghoa.org·
Go Tik Swan, Maestro Batik Keturunan Tionghoa
Lo Ban Teng – Lú Wàn Dìng (卢万定) – Ahli Seni Bela Diri Wuzuquan di Indonesia
Lo Ban Teng – Lú Wàn Dìng (卢万定) – Ahli Seni Bela Diri Wuzuquan di Indonesia
Lo Ban Teng Pinyin: Lú Wàn Dìng Hanzi (Simplified): 卢万定 Hanzi (Traditional): 盧萬定 Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng memiliki nama marga Lú . Berasal dari Zhangzhou, Fujian. Keluarganya menjalankan bisnis minuman keras dan Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng secara alami terlahir dengan bakat bela diri. Ketika berusia 23 tahun, Lo Ban Teng mulai belajar ilmu bela diri Wu Zu Quan (五祖拳, Wǔ Zǔ Quán) dengan pemilik toko yang bernama Yóu Jùnàn (尤俊岸, penulisan lain: Yu Chiok Sam, Yoe Tjoen Gan). Yóu Jùnàn adalah salah satu murid terbaik dari Cài Yùmíng (蔡玉明, penulisan lain: Chua Giok Beng, Tjoa Giok Beng). Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng membantu menjalankan bisnis keluarga dan harus berpergian ke daerah tetangga, seperti Xiamen dan Quanzhou. Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng pindah ke Indonesia pada tahun 1927, saat dia berusia sekitar 41 tahun, dan mulai berlatih pengobatan serta mengajar seni bela diri. Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng kemudian jatuh hati kepada seorang gadis yang ramah halus budi bahasanya. Kemudian nona ini menjadi Nyonya Lo yang kedua. Di Tiongkok Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng telah memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan. Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng tidak hanya dikenal karena ketrampilan medisnya, tetapi juga memiliki kekuatan fisik dari seni bela diri. Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng memiliki karakter yang terus terang, jujur dan tegas. Untuk menghormati gurunya, Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng memberikan marga gurunya kepada anak pertamanya dan anak itu diasuh oleh istri pertama Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng di Tiongkok. Dengan istri keduanya, Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng memiliki 12 anak, tidak termasuk anak pertama yang diasuh istri pertamanya. Lo Ban Teng / Lú Wàn Dìng adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam mendirikan Chua Giok Beng-Wuzuquan di Indonesia. Salah satu penekanan utama adalah bernafas dengan benar untuk mengembangkan pukulan keras serta kemampuan untuk menahan pukulan keras lawan.
·tionghoa.org·
Lo Ban Teng – Lú Wàn Dìng (卢万定) – Ahli Seni Bela Diri Wuzuquan di Indonesia