Sejarah Dan Legenda Sumpit – 筷子
Puisi Tentang Bunga Begonia
Perjamuan Jiaozi (饺子宴)
Sejarah Singkat Teh Hijau (绿茶)
Aneka Jenis Teh Hijau Tiongkok (绿茶)
Proses Pembuatan Teh Hitam Tiongkok (红茶)
Aneka Jenis Teh Hitam Tiongkok (红茶) Berdasarkan Tempat Asalnya
Kue Bulan (月饼) Melambangkan Reuni Keluarga
Kue bulan (Hanzi: 月饼, Pinyin: Yuèbǐng) biasanya berukuran diamteter sekitar 5 hingga 10 cm dan ketinggian hingga 5 cm.
Kebanyakan kue bulan memiliki kulit pastry yang membungkus isian yang manis dan padat.
Kue bulan biasanya dimakan dalam irisan kecil selama festival, dan dibagikan kepada anggota keluarga.
Pada umumnya disajikan dengan teh.
Dalam budaya Tionghoa, bentuk bundar dan bulat melambangkan kelengkapan dan kebersamaan.
Bulan purnama melambangkan kemakmuran dan reuni bagi seluruh keluarga.
Kue bulan dengan bentuknya yang bundar melengkapi bulan panen di langit malam saat Festival Pertengahan Musim Gugur.
Kue bulan bukan hanya makanan.
Ini adalah tradisi budaya yang mendalam di lubuk hati orang Tionghoa, melambangkan perasaan spiritual.
Pada Festival Pertengahan Musim Gugur, orang-orang makan kue bulan bersama keluarga, atau mempersembahkan kue bulan kepada kerabat atau teman, untuk mengungkapkan cinta dan harapan terbaik.
Artikel pertama muncul di:
Tionghoa Indonesia - Budaya dan Tradisi Tionghoa Indonesia
Pada:
Kue Bulan (月饼) Melambangkan Reuni Keluarga
Pantangan Hal Pernikahan Dalam Budaya Tionghoa
Pada pernikahan Tionghoa ada berbagai pantangan agar tak terkena sial.
Lalu apa saja pantangan pernikahan Tionghoa ini?
Tanggal Lahir
Dalam budaya pernikahan tradisional Tiongkok, sebelum orang muda menikah, mereka membawa waktu kelahiran mereka ke peramal untuk memperhitungkan apakah mereka cocok satu sama lain.
Jika mereka tidak cocok, pernikahan tidak dilaksanakan.
Seperti pepatah kuno,”Orang tidak cocok untuk menikah dengan orang shio lembu,” dan “Orang shio babi dan orang shio monyet tidak bisa hidup bersama seumur hidup.”
Untuk mereka yang cocok bisa untuk melangsungkan pernikahan.
Seperti pepatah kuno,”Jika orang shio ular dan orang shio monyet menikah, mereka dapat menikmati kebahagiaan dan umur panjang.”
Perbedaan Usia Enam Tahun
Jika ada perbedaan usia enam tahun antara seorang pria dan seorang wanita, dua orang ini dilarang menikah.
Tabu Saat Menjemput Mempelai Wanita
Dalam perjalanan menjemput mempelai wanita, jika penyambut pengantin berkesempatan bertemu dengan upacara pemakaman, arak-arakan, mereka harus memecahkan sesuatu atau bertukar hadiah untuk keberuntungan.
Tabu Untuk Tamu Wanita Pada Hari Pernikahan
Pada hari pernikahan, wanita berbaju putih tidak boleh masuk ke kamar pengantin, dan wanita hamil dan janda tidak boleh masuk ke kamar pengantin.
Calom Mempelai Sebelum Menikah
Dalam tiga bulan menjelang pernikahan, calon pasangan mempelai harus menghindari pergi ke pemakaman atau bangun atau mengunjungi seorang wanita yang baru saja memiliki bayi.
Jika salah satu orang tua pasangan meninggal sebelum pernikahan, pernikahan harus ditunda selama 100 hari, karena menghadiri perayaan bahagia selama berkabung dianggap tidak menghormati orang meninggal.
Bagi calon mempelai ataupun seseorang yang belum menikah, ada larangan untuk tidak menggunakan baju pengantin sebelum acara pernikahan. Jika dilakukan, dipercaya bahwa orang tersebut akan susah mendapat jodoh.
Artikel pertama muncul di:
Tionghoa Indonesia - Budaya dan Tradisi Tionghoa Indonesia
Pada:
Pantangan Hal Pernikahan Dalam Budaya Tionghoa
Topi Hijau Dalam Budaya Tionghoa
Topi berwaran hijau dalam bahasa Tionghoa adalah Lumaozi (Hanzi: 绿帽子, Pinyi: lǜmàozi).
Orang asing mungkin berpikir bahwa topi hijau sama seperti topi lainnya, tetapi tidak di sana.
Istilah “topi hijau” ini memiliki arti ungkapan tentang istri seorang pria yang tidak setia kepadanya.
Bahkan ada pepatah, “Warna paling mengerikan untuk topi pria adalah hijau.”
Mengapa demikian?
Ada satu cerita pada jaman Tiongkok kuno, istri seorang pedagang berselingkuh dengan seorang penjual kain.
Dia membuat topi hijau untuk dipakai suaminya, dan ketika suaminya pergi berbisnis, penjual kain akan melihat topi hijau itu dan tahu bahwa dia bisa bertemu kekasihnya.
Sejak saat itu, Lumaozi telah menjadi simbol seorang istri yang mengkhianati suaminya.
Artikel pertama muncul di:
Tionghoa Indonesia - Budaya dan Tradisi Tionghoa Indonesia
Pada:
Topi Hijau Dalam Budaya Tionghoa
Hal Tabu Di Meja Makan Dalam Budaya Tionghoa
Mangkuk
Di meja makan, mangkok jangan dibalik karena jika pasien minum obat, biasanya mangkok dibolak-balik untuk menyatakan harapan agar tidak sakit dan minum obat lagi.
Mengetuk mangkok dengan sumpit juga dihindari karena pengemis biasanya melakukan itu untuk mengemis, sehingga tindakan ini dianggap sebagai tanda sial.
Saat memegang mangkuk, telapak tangan tidak boleh terangkat karena pengemis memulai gerakan yang sama, jadi itu tabu saat memegang mangkuk.
Sumpit
Meletakkan sumpit tegak di mangkuk nasi dihindari karena dalam budaya Tionghoa, ketika sembahyang pada leluhur, sumpit biasanya diletakkan tegak di atas nasi.
Sepasang sumpit dihindari untuk diletakkan di dua sisi mangkuk atau cangkir karena dalam bahasa Tionghoa melambangkan “akan segera” (Hanzi:快, Pinyin: kuài), homofon dengan kata sumpit (Hanzi: 筷子, Pinyin: Kuàizi) dipisahkan,” yang menyakiti perasaan keluarga sehingga dianggap sial .
Ucapan
Kata-kata sial dihindari saat makan malam.
Kata-kata sial di meja makan dihindari sebagai hal yang tabu, sehingga kata-kata tentang cedera, kematian, bencana penyakit dan kecelakaan dihindari untuk disebutkan saat makan.
Hindari Makanan Terakhir
Melewati bagian terakhir saat makan dengan orang dianggap sopan, yang berarti kamu bijaksana dan tidak egois.
Pada sebagian besar kesempatan, potongan terakhir akan disimpan untuk yang lebih tua dan yang lebih tua akan memutuskan apakah akan memilikinya atau membaginya dengan orang lain.
Setelah Makan Malam
Mandi atau memotong rambutnya segera setelah makan malam dihindari karena ada pepatah lama dalam masyarakat Tionghoa yang berbunyi, “tidak mandi setelah makan malam; tidak memotong rambut saat mabuk” dan “jangan mencukur rambut saat kenyang.”
Menyisakan makanan dihindari karena ada pepatah lama yang berbunyi, “Jika seorang anak menyisakan makan malam, dia akan menikahi istri yang jelek ketika dia dewasa”, dan “sisa makanan menyebabkan kanker”.
The post Hal Tabu Di Meja Makan Dalam Budaya Tionghoa first appeared on Tionghoa Indonesia .
Pantangan Saat Berkunjung Dalam Budaya Tionghoa
Saat mengunjungi rumah orang lain atau pergi ke pesta makan malam, ada juga banyak tabu dalam tata krama tamu yang harus diperhatikan untuk menghindari rasa malu.
Jangan sampai datang dengan tangan kosong.
Jika mengunjungi rumah seseorang untuk mengadakan pertemuan yang telah diatur sebelumnya, tidak boleh datang dengan tangan kosong.
Pertukaran hadiah sangat umum dan orang-orang suka memberikan hadiah kecil satu sama lain untuk kebaikan.
Saat minum anggur, hindari memutar gelas.
Saat makan, hindari menanggalkan pakaian atau melonggarkan ikat pinggang.
Juga, hindari memberikan komentar negatif tentang makanan, berdiri untuk mengambil hidangan di kejauhan, dan memakan seluruh hidangan dengan sukarela untuk lebih banyak nasi atau hidangan.
Saat makan ikan, dengan sukarela membalik ikan harus dihindari ketika satu sisi sudah selesai, karena ada pepatah lama yang berbunyi, “Tamu tidak bisa membalik ikan sendiri.”
The post Pantangan Saat Berkunjung Dalam Budaya Tionghoa first appeared on Tionghoa Indonesia .
Batu Permata Giok Dalam Budaya Tiongkok
Batu permata giok adalah batuan metamorf yang secara alami berwarna hijau, merah, kuning, atau putih.
Ketika dipoles dan dirawat, warna-warna cerah dari batu giok bisa menjadi luar biasa.
Jenis batu giok yang paling populer dalam budaya Tiongkok adalah batu giok hijau, yang memiliki warna zamrud.
Batu giok dalam bahasa Tionghoa disebut Yu (Hanzi: 玉, Pinyin: yù), merupakan batu yang penting bagi budaya Tiongkok karena keindahan, kegunaan, dan nilai sosial yang dimilikinya.
Pentingnya Giok dalam Budaya Tiongkok
Giok lebih dari sekadar batu di Tiongkok kuno.
Itu adalah simbol kesempurnaan, keabadian, kemuliaan, dan keteguhan, dan orang Tiongkok menganggapnya sebagai inti dari langit dan bumi.
Bagi orang Tiongkok, batu giok juga merupakan perwujudan dari kebajikan Konfusianisme seperti keberanian, kebijaksanaan, kesederhanaan, keadilan, dan kasih sayang.
Pemolesan dan kecemerlangan batu giok dianggap oleh orang Tiongkok sebagai perwakilan kemurnian sementara kekompakan dan kekerasannya mencerminkan kecerdasan.
Bukti penggunaan batu giok ditemukan di delta Sungai Yangtze selama periode budaya Liangzhu (3400 SM–2250 SM).
Potongan besar giok ritual seperti Cakram Bi (Hanzi: 碧盘, Pinyin: Bì pán), Kapak Yue (Hanzi: 月斧, Pinyin: Yuè fǔ), dan Silinder Cong (Hanzi: 琮缸, Pinyin: Cóng gāng)sangat populer.
Kesenian ini juga menampilkan berbagai hewan seperti penyu, burung, dan ikan.
Pembuatan batu giok mulai meningkat selama dinasti Shang (1600 SM – 1100 SM) ketika orang Tiongkok memiliki teknologi untuk secara efisien membuat setiap benda yang bisa dibayangkan dari batu giok.
The post Batu Permata Giok Dalam Budaya Tiongkok first appeared on Tionghoa Indonesia .
Pantangan Pemberian Hadiah Dalam Budaya Tionghoa
Karena hal-hal baik diyakini datang berpasangan, hadiah yang diberikan berpasangan (kecuali set empat) adalah yang terbaik.
Saat menyiapkan hadiah, jangan membungkusnya dengan warna putih karena warna itu melambangkan kesedihan dan kemiskinan.
Hadiah tertentu juga dianggap tidak menguntungkan.
Misalnya, jangan pernah memberikan jam, arloji, atau arloji saku sebagai hadiah karena “mengirim jam” (Hanzi: 送钟, Pinyin: Sòng zhōng) terdengar seperti “ritual pemakaman” (Hanzi: 送终, Pinyin: Sòngzhōng).
Jam dianggap melambangkan waktu yang hampir habis.
Hadiah payung juga dihindari.
Memberikan payung dalam bahasa Tionghoa diucapkan Songsan (Hanzi:送伞, Pinyin: Sòng sǎn), yang juga terdengar identik dengan Songsan (Hanzi: 送散, Pinyin: Sòng sǎn), yang berarti memisahkan atau membubarkan.
Oleh karena itu, hindari memberi hadiah payung, juga berbagi payung dengan teman-teman kamu, terutama dalam beberapa acara yang cukup formal.
Hadiah cangkir juga dianggap tabu.
Cangkir dalam bahasa Tionghoa diucapkan Beizi (Hanzi: 杯子, Pinyin: Bēizi), yang pengucapannya identik dengan kesedihan dalam bahasa Tionghoa yakni Bei (Hanzi: 悲伤, Pinyin: Bēishāng), yang melambangkan sial dan tidak beruntung.
Terpikir untuk memberi hadiah sepatu? Lebih baik jangan.
Dalam bahasa Tionghoa, kata untuk sepatu diucapkan Xie (Hanzi: 鞋, Pinyin: xié) mirip dengan kata untuk kejahatan dalam bahasa Tionghoa yakni Xie (Hanzi: 邪, Pinyin: xié).
Ini membawa nasib buruk, dan hubungan kamu dengan orang yang diberi hadiah sepatu pada akhirnya akan berakhir.
Ada banyak hadiah tidak menyenangkan lainnya yang harus dihindari .
Jika kamu memberikan hadiah sial secara tidak sengaja, penerima dapat memperbaikinya dengan memberi kamu koin yang mengubah hadiah menjadi barang yang telah mereka beli secara simbolis.
The post Pantangan Pemberian Hadiah Dalam Budaya Tionghoa first appeared on Tionghoa Indonesia .
Pantangan Warna Dalam Budaya Tionghoa
Warna memberikan corak dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tapi, dalam budaya Tionghoa, ada beberapa warna yang dianggap tabu.
Warna apa saja ya?
Hindari Warna Elegan
Pada jaman Tiongkok kuno warna kuning, ungu, dan sampanye digolongkan menjadi warna yang elegan.
Warna-warna ini dulunya khusus digunakan untuk keluarga kerajaan dan bangsawan, sehingga rakya biasa dilarang berpakaian dengan warna kuning, ungu, atau sampanye.
Dalam masyarakat feodal Tiongkok kuno, kuning hanya digunakan untuk keluarga kerajaan dan jika rakyat biasa memakai pakaian kuning akan dipenggal.
Hindari Warna Yang Merendahkan
Warna hijau (Hanzi: 绿色, Pinyin: Lǜsè), hijau zamrud (Hanzi: 翠绿, Pinyin: Cuìlǜ), dan cyan/biru (Hanzi: 青色, Pinyin: Qīngsè) dianggap sebagai warna yang rendah, karena pada Dinasti Yuan, Ming, dan Qing, hanya pelacur dan gadis penyanyi yang mengenakan warna-warna ini.
Hindari Warna Tidak Beruntung atau Sial
Putih dan hitam dianggap sebagai warna tidak beruntung dan sial, sehingga ada pantangan dalam berpakaian dengan warna ini.
Dalam pemakaman, orang memakai ban lengan hitam atau pakaian berkabung putih.
Jadi di hari-hari bahagia, seperti pernikahan, ulang tahun, bulan pertama anak, tahun baru, festival, dan sebagainya, berpakaian putih atau hitam dihindari.
Hindari Warna Cerah
Make-up yang berlebihan dan pakaian yang indah juga lebih baik dihindari.
Dalam budaya tradisional Tiongkok, orang percaya bahwa warna pakaian harus sesuai dengan usia, karier, dan perilaku orang.
Wanita dengan riasan berlebihan akan terlihat genit, dan pria dengan warna cerah juga akan dianggap tidak berbobot.
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Angka Dalam Budaya Tionghoa
Angka sering digunakan dalam komunikasi verbal dalam kehidupan sehari-hari.
Selama proses menggunakannya, angka-angka tersebut diyakini tidak dapat diprediksi, sehingga mereka dianggap memiliki beberapa atribut suci dalam budaya Tionghoa.
Jadi dalam pandangan orang Tionghoa, angka bisa menjadi keberuntungan atau sial.
Angka Tabu atau Angkat Sial
Tabu berarti hal yang harus dilarang atau dikecualikan dari penggunaan atau praktik, yang merupakan produk masyarakat dan budaya.
Saat memberikan hadiah atau merayakan pernikahan atau ulang tahun, angka ganjil harus dihindari karena tidak sesuai dengan keinginan bahwa “kebahagiaan datang dua kali lipat.”
Namun, ketika memberikan hadiah untuk pasien atau memberikan hadiah di pemakaman, angka genap harus dihindari karena tidak ada yang mengharapkan “kemalangan datang dua kali”.
Pengucapan angka 3 yakni San (Hanzi: 三, Pinyin: Sān), memiliki kemiripan dengan pengucapan San (Hanzi: 散, Pinyin: Sàn) yang artinya terpisah, sehingga saat merayakan ulang tahun atau memilih tanggal pernikahan, orang cenderung menghindari tanggal yang berhubungan dengan angka 3.
Selain itu, saat mengirim hadiah ulang tahun atau hadiah pernikahan, angka 3 harus dihindari.
Angka 4 dalam bahasa Tionghoa dibaca Si (Hanzi: 四, Piynyin: Sì) memiliki pengucapan yang mirip dengan kata kematian dalam bahasa Tionghoa yakni Si (Hanzi: 死, Piynyin: Sǐ), yang berarti sial, sehingga ketika memilih nomor rumah, nomor mobil, nomor telepon, dan nomor ponsel, angka 4 selalu dihindari.
Dalam bahaa Tionghoa angka 5 diucapkan Wu (Hanzi: 五, Pinyin: Wǔ) memiliki pengucapan yang mirip dengan Wu dalam bahasa Tionghoa yang artinya tidak ada (Hanzi: 无, Pinyin: Wú), sehingga kegiatan pada tanggal yang terkait dengan angka 5 sering dihindari karena dianggap sial.
Lahir pada tanggal lima bulan lima kalender lunar, sering seringkali tidak disukai.
Dikatakan bahwa dalam pandangan orang dahulu, bulan lima dalam kalender lunar adalah hari jahat di bulan jahat.
Jadi itu hari terburuk dalam setahun.
Bahkan anak-anak yang lahir pada hari ini akan dianggap merugikan orang tuanya, sehingga orang tua menelantarkan anak itu atau mengubah hari kelahiran bayinya.
Dahulu ada aturan Qichu (Hanzi: 七出, Pinyin: Qī chū) yang merupakan tujuh alasan cerai yang ditujukan untuk wanita.
Jika mereka melakukan tujuh dosa, suami mereka akan menceraikan mereka.
Oleh karena itu ketika orang menikahkan anak perempuan, angka 7 selalu berusaha dihindari.
Di beberapa tempat, usia 36 tahun juga dihindari, karena dianggap sebagai hal yang tabu.
Ada pepatah lama yang berbunyi seperti ini, “Ketika seseorang berusia 36 tahun, dia akan tersandung dan jatuh. Seseorang yang berusia 36 tahun akan mengalami tuntutan hukum atau terpaksa menjual rumahnya.”
Pada usia 36 tahun, beberapa orang akan membuat pesta dan mengundang kerabat dan teman-teman mereka untuk merayakan ulang tahun sebelumnya.
Pengunjung akan menyalakan petasan di rumah tuan rumah untuk mengusir nasib buruk.
Usia 45 tahun juga dianggap tabu oleh orang-orang zaman dahulu, seperti kata pepatah, “Ketika orang mencapai usia 45 tahun, mereka seperti tanaman lemas yang kekurangan sinar matahari.”
Dengan demikian orang akan berpura-pura menjadi satu tahun lebih tua atau lebih muda dari 45 dengan sengaja.
Beberapa orang akan meminta keluarga untuk membuat celana dalam merah atau ikat pinggang untuk mengusir roh jahat di usia 45.
Di beberapa tempat, usia 66 juga dihindari sebagai hal yang tabu.
Diyakini bahwa usia 66 adalah masa yang sulit bagi orang tua.
Pepatah legendaris mengatakan sebagai berikut, “Pada usia 66, Dewa Kematian ingin membunuhmu.”
Apalagi angka 73 dan 84.
Angka ini dihindari karena dianggap tabu karena pepatah lama, “Mencapai usia 73 atau 84, kamu akan masuk neraka bahkan Dewa Kematian tidak mengundangmu.”
Ada legenda lain yang mengatakan bahwa dua orang bijak Tiongkok, Konfusius meninggal pada usia 73 tahun sedangkan Mencius pada usia 84 tahun.
Bahkan orang bijak seperti Konfusius dan Mencius tidak bisa lepas dari kutukan 73 dan 84, apalagi orang normal.
Jadi kedua angka ini dianggap sebagai titik kritis kehidupan.
Jika dapat hidup melalui 73, kamu melewati masa-masa sulit, dan kamu setidaknya dapat bertahan sampai 84.
Jika kamu bisa hidup sampai 84, kamu bisa hidup selama 100 tahun.
Angka 81 dihindari sebagai hal yang tabu, karena ada pepatah, “Sembilan kali sembilan kita dapat satu, rejeki atas kekayaan telah habis, dan keturunannya akan miskin selamanya.”
Jadi di banyak tempat, angka 81 dihindari.
Di beberapa tempat, angka 9 dihindari sebagai hal yang tabu karena dalam ide matematika kuno, angka 1,3,5,7 dan 9 dianggap sebagai Yang sedangkan 2,4,6 dan 8 sebagai Yin dan angka 9 adalah ekstrim dari Yang.
Ada pepatah lama yang berbunyi seperti ini, “Segala sesuatu selalu berbalik dengan sendirinya setelah mencapai ekstrim.”
Pepatah ini menunjukkan bahwa keuntungan akan berubah menjadi kerugian dan naik akan berubah menjadi turun.
Jadi usia yang berhubungan dengan 9 juga dihindari, dianggap sebagai hal yang tabu oleh orang-orang, karena mereka percaya itu akan membawa mereka kepada nasib buruk.
Angka Keberuntungan
Angka keberuntungan biasanya adalah angka genap.
Oleh karena itu, ketika memilih tanggal pernikahan, angka ganjil dihindari sebagai hal yang tabu.
Untuk satu hal, orang berharap “Kebahagiaan datang dua kali lipat.”
Orang cenderung memilih angka 6 dan 8 dengan alasan bahwa, dalam bahasa Tionghoa angka 8 yang diucapkan Ba (Hanzi: 八, Pinyin: Bā), memiliki pengucapan yang mirip dengan Fa (Hanzi: 发, Pinyin: Fā), yang berarti menghasilkan banyak uang dalam bahasa Tionghoa.
Dahulu, pedagang selalu memilih hari yang berhubungan dengan 8 untuk melakukan perjalanan jauh.
Sampai sekarang pepatah beruntung, “Jika ingin menjadi kaya, harus bergantung pada angka 8.”
Dalam bahasa Tionghoa, angka 6 diucapkan Liu (Hanzi: 六, Pinyin: Liù) memiliki pengucapan yang mirip dengan Liu (Hanzi: 溜, Pinyin: Liū) yang berarti semuanya akan berjalan lancar.
Jika enam berjalan setelah enam lainnya, itu bahkan lebih baik, karena dua enam berarti “六六大顺 (liù liù dà shùn).”
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Beda Orang Tiongkok Bagian Utara & Bagian Selatan
Tiongkok adalah negara yang sangat besar baik dari segi tanah maupun jumlah penduduknya. Konsep Tiongkok bagian utara dan selatan berasal dari perbedaan iklim, geografi, budaya, dan sifat fisik. Orang Tiongkok selalu mendefinisikan diri mereka sebagai orang utara atau selatan ketika mereka bersosialisasi. Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi perbedaan orang utara dan orang selatan menurut penampilan, karakteristik, dialek, dan makanan yang mereka makan.
Apa yang membedakan Tiongkok bagian utara dan selatan?
Tiongkok dibagi menjadi Tiongkok bagian utara dan selatan oleh Garis Qinling-Huaihe (secara harfiah berarti Garis Pegunungan Qinling-Sungai Huai) berasal dari zaman neolitik. Namun, secara budaya, pembagiannya lebih ambigu. Di provinsi timur seperti Jiangsu dan Anhui, Sungai Yangtze kadang dianggap sebagai batas utara-selatan alih-alih Sungai Huai.
Beda orang Tiongkok utara dan selatan
1. Penampilan
Secara umum, orang Tiongkok bagian utara lebih tinggi, mata lebih sipit, kulit lebih cerah, dan wajah lebih panjang.
Orang Tiongkok bagian selatan bertubuh lebih pendek, mata bulat besar, kulit lebih gelap, wajah bulat, dan leher lebih pendek.
Keanekaragaman tersebut terbentuk karena adaptasi manusia terhadap iklim dan pola makan.
2. Karakter penduduk
Orang Tiongkok bagian utara lebih blak-blakan dan langsung, lucu, suka berteman.
Sebaliknya, orang Tiongkok bagian selatan lebih pendiam, berhati-hati, dan detail dalam perencanaan.
3. Dialek
Meskipun Tiongkok menggunakan bahasa Tionghoa, yang berdasarkan dialek Beijing-Utara, ada lebih dari 100 dialek di Tiongkok.
Ini dapat menjelaskan mengapa orang utara berbicara bahasa Tionghoa dengan lebih baik. Anda dapat dengan mudah memahami dialek orang utara, bahkan dengan aksen utara (rhotik).
Di sisi lain, ada dialek yang lebih sulit dipahami di Tiongkok selatan, termasuk bahasa lokal dari banyak kelompok minoritas, seperti Zhuang, Yao, dan Miao.
Dialek selatan lebih sulit untuk dipahami, kebanyakan dari mereka berasal dari Yue (misalnya Kanton), Minnan (misalnya Hokkien), Wu (misalnya Shanghai), Hakka (misalnya Taiwan), Xiang (misalnya Hunan) atau Gan (misalnya Jiangxinese).
4. Makanan
Karena iklim yang berbeda, bagian utara menghasilkan gandum, bersama dengan jagung, sayuran akar, dan kubis, sedangkan bagian selatan menghasilkan terutama beras, bersama dengan terong, tomat, dan varietas sayuran berdaun.
Orang Utara makan lebih banyak roti kukus (mantou), mie, pangsit, dan makanan berbasis gandum lainnya, sementara orang Selatan makan lebih banyak makanan berbasis nasi.
Buah dari utara dan selatan juga berbeda. Sebagian besar apel, melon, dan persik tumbuh di utara, sedangkan selatan menghasilkan lebih banyak buah tropis seperti mangga, pisang, kelapa, dan leci.
Ketika orang pergi untuk membeli bahan makanan, orang utara akan membeli banyak sekaligus. Disisi lain, orang selatan lebih suka membeli makanan setiap hari untuk kesegaran dan dalam jumlah yang lebih kecil.
5. Kebiasaan “minum”
Di Tiongkok bagian selatan, kamu cenderung lebih sering bertemu dengan orang minum teh. Mereka minum bir / arak hanya untuk kebutuhan sosial. Sedangkan di Tiongkok bagian utara, mereka lebih dan sangat sering minum bir / arak.
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Aneka Pola Jianzhi, Seni Menggunting Kertas Tiongkok
Apa itu jianzhi?
Seni menggunting kertas / jianzhi (hanzi: 剪纸 pinyin: jiǎn zhǐ) adalah bentuk budaya dan seni rakyat Tiongkok.
Jianzhi adalah seni mengguting kertas yang menggunakan kertas berwarna cerah dengan gunting dan cutter/pisau.
Warna dalam jianzhi
Dari sudut pandang warna, seni menggunting kertas Tiongkok ini dibagi menjadi dua jenis: “monokrom” dan “warna-warni”.
Potongan kertas monokrom sebagian besar menggunakan kertas berwarna merah yang indah. Sedangkan potongan kertas warna-warni, ceria penuh warna dan sangat indah.
Warna-warni (sebelah kiri) & Monokrom (sebelah kanan)
Siapa yang membuat jianzhi pada jaman dahulu?
Sebagian besar seni menggunting kertas Tiongkok berasal dari tangan wanita petani, sehingga sebagian besar polanya adalah sesuatu yang paling diperhatikan dan paling disukai oleh mereka.
Karena kebiasaan hidup orang di setiap tempat berbeda-berbeda, gaya menggunting kertas juga berbeda-beda.
Aneka pola jianzhi
Di Tiongkok bagian barat, sebagian besar adalah Chuang Hua (hanzi: 窗花 pinyin: chuāng huā).
Contoh Jianzhi Chuanghua
Di Tiongkok bagian timur laut, sebagian besar adalah karakter opera.
Contoh Jianzhi karakter opera
Sedangkan di Tiongkok bagian selatan, sebagian besar adalah bentuk bunga.
Contoh Jianzhi bentuk bunga
Seni menggunting kertas Tiongkok telah memenangkan cinta orang-orang di seluruh dunia dengan keindahan dan keunikannya.
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Apa Itu Angpao ?
Angpao adalah amplop kecil berwarna merah ini menjadi sesuatu yang paling ditunggu-tunggu saat perayaan Tahun Baru Imlek.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) angpau atau angpao merupakan sebuah amplop kecil yang digunakan sebagai tempat uang sumbangan yang diberikan kepada orang yang punya hajat dalam adat Tionghoa.
Dalam KBBI juga disampaikan bahwa angpao adalah sebagai hadiah atau pemberian uang, yang diberikan pada hari Tahun Baru Imlek dan sebagainya.
Secara asal kata, angpao berasal dari bahasa Hokkian, dari kata ang dan pao.
Ang berarti merah, dan pao berarti amplop atau bungkus.
Dalam bahasa Tionghoa, angpao disebut hongbao (Hanzi: 红包, Pinyin: Hóngbāo).
Menurut Agni Malagina, seorang peneliti dan penulis yang fokus pada kajian budaya Tionghoa Indonesia, angpao adalah bungkus warna merah atau amplop warna merah.
Seperti diketahui, warna merah bagi masyarakat etnis Tionghoa memiliki arti keberuntungan dan kebahagiaan sepanjang tahun.
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Go Tik Swan, Maestro Batik Keturunan Tionghoa
Go Tik Swan (Hardjonagoro) bersama Presiden Soekarno dalam sebuah acara di Istana Negara
Namanya Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) Hardjonagoro. Dari gelar yang disandang di depan namanya sudah pasti ia adalah sosok penting yang di dalam raganya mengalir “darah biru” dari sebuah kesultanan atau kerajaan di Pulau Jawa.
Bukan, ia hanyalah seorang rakyat biasa, dan terlahir sebagai keturunan Tionghoa. Sumbangsihnya terhadap pelestarian budaya Jawa-lah yang membuat Keraton Surakarta menganugerahinya gelar prestisius tersebut.
Go Tik Swan, sebuah nama yang diberikan ayahnya, Gho Ghiam Ik, seorang penguasaha batik ternama di Surakarta kepadanya ketika lahir di Desa Kratonan, Serengan, Surakarta pada 11 Mei 1931 silam.
Di kemudian hari Tik Swan menjelma menjadi seorang keturunan Tionghoa yang sangat mencintai dan dianggap sebagai pelestari budaya Jawa, melebihi orang-orang yang memang terlahir sebagai orang Jawa. Peraih anugerah Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini telah menciptakan 200 motif batik yang terkenal dengan trade marknya, Batik Indonesia. Sebagai anak dari keluarga terpandang maka Saat menginjak usia 7 tahun Tik Swan menempuh pendidikan dasarnya di Neutrale Europesche Lagere School (NELS) di Surakarta. Sebuah sekolah yang latar belakang siswa-siswinya berasal dari kalangan keluarga terpandang seperti warga keraton, anak-anak ningrat, pemuka masyarakat, serta pejabat.
Namun, kesibukan kedua orang tuanya membuat Tik Swan lebih banyak diasuh oleh kakeknya, Tjan Khay Sing yang juga seorang pengusaha batik. Kakeknya merupakan pengusaha batik nomor satu di Solo yang memiliki empat lokasi pembatikan, yakni dua di Kratonan, dan sisanya di Ngapenan dan Kestalan. Berada di lingkungan pembatik, hari-hari Tik Swan dilalui bersama para pekerja yang membersihkan malam dari kain, mencuci, membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, menulisi kain dengan canting, dan sejumlah aktivitas pembuatan batik lainnya.
Lingkungan itulah yang kemudian membentuknya menjadi seseorang yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada budaya tradisional Jawa. Tik Swan selalu terlihat anstusias ketika pada pembatik bekerja sembari menembang lagu-lagu jawa, atau ketika mendengar dongeng-dongeng yang bercerita tentang kebudayaan Jawa.
Lazimnya anak kecil yang gampang berubah-ubah minat dan ketertarikannya, tidak demikian dengan Tik Swan. Ketertarikannya terhadap tradisi dan budaya justru semakin tumbuh dan subur seiring pertambahan usianya. Segala sesuatu yang berbau seni tradisional Jawa selalu menyedot perhatiannya. Gayung bersambut, tak jauh dari kediaman kakeknya di Coyudan, berdiri sebuah klenteng yang kerap mengadakan pertunjukan wayang, pertunjukan yang membuatnya sering mampir untuk menonton. Dari wayang ini pula ketertarikan Tik Swan tumbuh pada tari-tari Jawa, sehingga memutuskan berguru kepada putra Pakubuwono IX yakni G.P.H. Prabuwinata yang dikenal sebagai seniman keraton yang ahli di bidang karawitan, tari dan pedalangan. Minat Tik Swan ternyata ditentang oleh kedua orangtuanya. Namun gairahnya mendalami budaya Jawa tak terbendung. Ia mengabaikan tentangan tersebut.
Orangtua Tik Swan punya cara menjauhkan putra sulungnya dari dunia tari dan ragam budaya jawa lain yang digeluti anaknya. Pada tahun 1953, ia kemudian diminta menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Cara itu ternyata tak efektif membendung seorang Tik Swan yang sedang kasmaran terhadap budaya Jawa. Tanpa sepengetahuan orangtuanya Tik Swan justru memilih kuliah di Fakultas Sastra Dan Filsafat, Jurusan Sastra Jawa UI. Di sini ia justru lebih mendalami aksara Jawa, menonton wayangan dan tari-tari Jawa.
Betapa murkanya sang ayah ketika mengetahui kebohongan Tik Swan. Tak tanggung-tanggung, ayahnya mengancam segala biaya dan fasilitas ditarik. Tik Swan tetap teguh pada pilihannya dan mengabaikan ancaman sang ayah.
Batik Indonesia
Karena kepiawaiannya membawakan tari-tari Jawa, membuat Tik Swan sering diundang untuk tampil di berbagai pertunjukan. Dalam pentas-pentas ini Tik Swan mulai memperkenalkan nama Indonesia, yakni Hardjonagoro, yang kemudian menjadi nama panggungnya. Hardjonagoro sendiri adalah sebuah pasar di Solo yang dimiliki oleh kakek buyutnya bernama Tjan Sie Ing. Kala itu di tahun 1955 Universitas Indonesia merayakan hari ulang tahunnya. Hardjonagoro bersama rombongan tarinya berkesempatan tampil membawakan tarian Gambir Anom di Istana Negara Jakarta. Sebuah kesempatan langka tampil di hadapan Presiden Soekarno.
Mengetahui salah satu penari adalah pria keturunan Tionghoa dan latar belakang keluarganya sebagai penguasaha batik turun-temurun, Presiden Soekarno menghampirinya. Sang Proklamator kemudian menyarakan kepadanya agar menciptakan batik yang mewakili identitas Indonesia, tak sekedar beridentitas lokal.
Saran Soekarno bak motivasi besar bagi perjalanan hidup Hardjonagoro. Pada tahun yang sama ia memutuskan meninggalkan bangku kuliahnya, pulang ke kampung halamannya, mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.
Tak sukar baginya menemukan tempat dan guru yang tepat mempelajari batik secara holistik. Kedekatannya dengan keluarga Keraton Solo memungkinkannya belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum di tangan Hardjonagoro dikembangkan sedemikian rupa tanpa menghilangkan ciri khasnya. Pola-polanya diberi sentuhan warna-warna cerah seperti yang diajarkan Ibu Soed gurunya, pencipta lagu yang dikenal piawai dalam seni batik.
Hardjonagoro juga mengembangkan motif-motif baru pada batiknya. Batik dengan warna dan motif baru seperti Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Rengga Puspita dan Pisan Bali adalah hasil eksplorasinya menciptakan Batik Indonesia. Kerja keras dan inovasi Hardjonagoro mengantarkan batik ke masa jaya di tahun 1960-1970. Ia tak hanya menciptakan batik dengan warna dan motif indah untuk mempercantik pemakainya, namun juga menjadikan batik sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi.
Kesuksesan itu kembali mempertemukannya dengan sang motivator, siapa lagi kalau bukan Presiden Soekarno. Hardjonagoro kerap diundang Soekarno menjelaskan batik kepada tamu-tamu negara yang berkunjung ke Indonesia. Tak hanya itu, ia juga mendapat tugas sebagai anggota Panitia Negara Urusan Penerima Kepala Negara Asing yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pameran batik di Istana Negara, termasuk mendesain batik untuk cinderamata para tamu.
Sepanjang karirnya dari tahun 1950an hingga 2008, Hardjonagoro telah menciptakan sekitar 200 motif batik Indonesia, bahkan diantaranya banyak yang menjadi koleksi museum-museum di Eropa, Amerika, Australia, serta para kolektor batik. Salah satu kolektor batiknya tak lain adalah putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri. Ia menciptakan sebuah motif yang khusus diperuntukkan bagi putri praklamator itu dan diberi nama Parang Megakusumo.
Gelar Kebangsawanan
Kontribusi besar perjalanan hidup Hardjonagoro dalam mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa membuatnya dianugerahi banyak penghargaan. Kedekatannya dengan keluarga Pakubuwono serta kesetiaannya mengabdi pada keraton Kasunanan memprakarsai lahirnya Art Gallery Karaton Surakarta. Hal inilah yang membuat Sri Sultan Pakubuwono XI menganugerahkan Go Tik Swan pangkat Bupati Anom bergelar Raden Tumenggung (R.T) Hardjonagoro pada 11 September 1972.
Tak berhneti sampai di situ, di tahun 1984, pangkatnya kembali dinaikkan setingkat lebih tinggi, menjadi Bupati Sepuh, dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.). Begitu pula sepuluh tahun kemudian, pangkatnya kembali dinaikkan menjadi Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Hariyo Tumenggung (K.R.H.T.). Bahkan di tahun 1998 Hardjonagoro mendapat gelar pangerannya, yaitu Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) dan gelar keduanya sebagai Kangjeng Pangeran Aryo (K.P.A.) di tahun 2001.
Atas jasa-jasanya sebagai budayawan dan pembatik, Presiden kenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memberikan penghargaan sebagai putra terbaik dengan tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma yang diterima ahli warisnya KRAr Hardjo Suwarno dan istrinya, Supiyah Anggriyani pada tahun 2011 lalu.
Bagi Hardjonagoro bukanlah anugerah gelar atau pangkat yang ia cari, melainkan pengabdian dalam melestarikan budaya itu sendiri, dalam hal ini budaya Jawa hingga akhir hidupnya.(Rafael Sebayang)
Sumber: www.validnews.id/Go-Tik-Swan–Maestro-Batik-Keturunan-Tionghoa-MxQ