Topi berwaran hijau dalam bahasa Tionghoa adalah Lumaozi (Hanzi: 绿帽子, Pinyi: lǜmàozi).
Orang asing mungkin berpikir bahwa topi hijau sama seperti topi lainnya, tetapi tidak di sana.
Istilah “topi hijau” ini memiliki arti ungkapan tentang istri seorang pria yang tidak setia kepadanya.
Bahkan ada pepatah, “Warna paling mengerikan untuk topi pria adalah hijau.”
Mengapa demikian?
Ada satu cerita pada jaman Tiongkok kuno, istri seorang pedagang berselingkuh dengan seorang penjual kain.
Dia membuat topi hijau untuk dipakai suaminya, dan ketika suaminya pergi berbisnis, penjual kain akan melihat topi hijau itu dan tahu bahwa dia bisa bertemu kekasihnya.
Sejak saat itu, Lumaozi telah menjadi simbol seorang istri yang mengkhianati suaminya.
Artikel pertama muncul di:
Tionghoa Indonesia - Budaya dan Tradisi Tionghoa Indonesia
Pada:
Topi Hijau Dalam Budaya Tionghoa
Mangkuk
Di meja makan, mangkok jangan dibalik karena jika pasien minum obat, biasanya mangkok dibolak-balik untuk menyatakan harapan agar tidak sakit dan minum obat lagi.
Mengetuk mangkok dengan sumpit juga dihindari karena pengemis biasanya melakukan itu untuk mengemis, sehingga tindakan ini dianggap sebagai tanda sial.
Saat memegang mangkuk, telapak tangan tidak boleh terangkat karena pengemis memulai gerakan yang sama, jadi itu tabu saat memegang mangkuk.
Sumpit
Meletakkan sumpit tegak di mangkuk nasi dihindari karena dalam budaya Tionghoa, ketika sembahyang pada leluhur, sumpit biasanya diletakkan tegak di atas nasi.
Sepasang sumpit dihindari untuk diletakkan di dua sisi mangkuk atau cangkir karena dalam bahasa Tionghoa melambangkan “akan segera” (Hanzi:快, Pinyin: kuài), homofon dengan kata sumpit (Hanzi: 筷子, Pinyin: Kuàizi) dipisahkan,” yang menyakiti perasaan keluarga sehingga dianggap sial .
Ucapan
Kata-kata sial dihindari saat makan malam.
Kata-kata sial di meja makan dihindari sebagai hal yang tabu, sehingga kata-kata tentang cedera, kematian, bencana penyakit dan kecelakaan dihindari untuk disebutkan saat makan.
Hindari Makanan Terakhir
Melewati bagian terakhir saat makan dengan orang dianggap sopan, yang berarti kamu bijaksana dan tidak egois.
Pada sebagian besar kesempatan, potongan terakhir akan disimpan untuk yang lebih tua dan yang lebih tua akan memutuskan apakah akan memilikinya atau membaginya dengan orang lain.
Setelah Makan Malam
Mandi atau memotong rambutnya segera setelah makan malam dihindari karena ada pepatah lama dalam masyarakat Tionghoa yang berbunyi, “tidak mandi setelah makan malam; tidak memotong rambut saat mabuk” dan “jangan mencukur rambut saat kenyang.”
Menyisakan makanan dihindari karena ada pepatah lama yang berbunyi, “Jika seorang anak menyisakan makan malam, dia akan menikahi istri yang jelek ketika dia dewasa”, dan “sisa makanan menyebabkan kanker”.
The post Hal Tabu Di Meja Makan Dalam Budaya Tionghoa first appeared on Tionghoa Indonesia .
Karena hal-hal baik diyakini datang berpasangan, hadiah yang diberikan berpasangan (kecuali set empat) adalah yang terbaik.
Saat menyiapkan hadiah, jangan membungkusnya dengan warna putih karena warna itu melambangkan kesedihan dan kemiskinan.
Hadiah tertentu juga dianggap tidak menguntungkan.
Misalnya, jangan pernah memberikan jam, arloji, atau arloji saku sebagai hadiah karena “mengirim jam” (Hanzi: 送钟, Pinyin: Sòng zhōng) terdengar seperti “ritual pemakaman” (Hanzi: 送终, Pinyin: Sòngzhōng).
Jam dianggap melambangkan waktu yang hampir habis.
Hadiah payung juga dihindari.
Memberikan payung dalam bahasa Tionghoa diucapkan Songsan (Hanzi:送伞, Pinyin: Sòng sǎn), yang juga terdengar identik dengan Songsan (Hanzi: 送散, Pinyin: Sòng sǎn), yang berarti memisahkan atau membubarkan.
Oleh karena itu, hindari memberi hadiah payung, juga berbagi payung dengan teman-teman kamu, terutama dalam beberapa acara yang cukup formal.
Hadiah cangkir juga dianggap tabu.
Cangkir dalam bahasa Tionghoa diucapkan Beizi (Hanzi: 杯子, Pinyin: Bēizi), yang pengucapannya identik dengan kesedihan dalam bahasa Tionghoa yakni Bei (Hanzi: 悲伤, Pinyin: Bēishāng), yang melambangkan sial dan tidak beruntung.
Terpikir untuk memberi hadiah sepatu? Lebih baik jangan.
Dalam bahasa Tionghoa, kata untuk sepatu diucapkan Xie (Hanzi: 鞋, Pinyin: xié) mirip dengan kata untuk kejahatan dalam bahasa Tionghoa yakni Xie (Hanzi: 邪, Pinyin: xié).
Ini membawa nasib buruk, dan hubungan kamu dengan orang yang diberi hadiah sepatu pada akhirnya akan berakhir.
Ada banyak hadiah tidak menyenangkan lainnya yang harus dihindari .
Jika kamu memberikan hadiah sial secara tidak sengaja, penerima dapat memperbaikinya dengan memberi kamu koin yang mengubah hadiah menjadi barang yang telah mereka beli secara simbolis.
The post Pantangan Pemberian Hadiah Dalam Budaya Tionghoa first appeared on Tionghoa Indonesia .
Warna memberikan corak dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tapi, dalam budaya Tionghoa, ada beberapa warna yang dianggap tabu.
Warna apa saja ya?
Hindari Warna Elegan
Pada jaman Tiongkok kuno warna kuning, ungu, dan sampanye digolongkan menjadi warna yang elegan.
Warna-warna ini dulunya khusus digunakan untuk keluarga kerajaan dan bangsawan, sehingga rakya biasa dilarang berpakaian dengan warna kuning, ungu, atau sampanye.
Dalam masyarakat feodal Tiongkok kuno, kuning hanya digunakan untuk keluarga kerajaan dan jika rakyat biasa memakai pakaian kuning akan dipenggal.
Hindari Warna Yang Merendahkan
Warna hijau (Hanzi: 绿色, Pinyin: Lǜsè), hijau zamrud (Hanzi: 翠绿, Pinyin: Cuìlǜ), dan cyan/biru (Hanzi: 青色, Pinyin: Qīngsè) dianggap sebagai warna yang rendah, karena pada Dinasti Yuan, Ming, dan Qing, hanya pelacur dan gadis penyanyi yang mengenakan warna-warna ini.
Hindari Warna Tidak Beruntung atau Sial
Putih dan hitam dianggap sebagai warna tidak beruntung dan sial, sehingga ada pantangan dalam berpakaian dengan warna ini.
Dalam pemakaman, orang memakai ban lengan hitam atau pakaian berkabung putih.
Jadi di hari-hari bahagia, seperti pernikahan, ulang tahun, bulan pertama anak, tahun baru, festival, dan sebagainya, berpakaian putih atau hitam dihindari.
Hindari Warna Cerah
Make-up yang berlebihan dan pakaian yang indah juga lebih baik dihindari.
Dalam budaya tradisional Tiongkok, orang percaya bahwa warna pakaian harus sesuai dengan usia, karier, dan perilaku orang.
Wanita dengan riasan berlebihan akan terlihat genit, dan pria dengan warna cerah juga akan dianggap tidak berbobot.
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Angka sering digunakan dalam komunikasi verbal dalam kehidupan sehari-hari.
Selama proses menggunakannya, angka-angka tersebut diyakini tidak dapat diprediksi, sehingga mereka dianggap memiliki beberapa atribut suci dalam budaya Tionghoa.
Jadi dalam pandangan orang Tionghoa, angka bisa menjadi keberuntungan atau sial.
Angka Tabu atau Angkat Sial
Tabu berarti hal yang harus dilarang atau dikecualikan dari penggunaan atau praktik, yang merupakan produk masyarakat dan budaya.
Saat memberikan hadiah atau merayakan pernikahan atau ulang tahun, angka ganjil harus dihindari karena tidak sesuai dengan keinginan bahwa “kebahagiaan datang dua kali lipat.”
Namun, ketika memberikan hadiah untuk pasien atau memberikan hadiah di pemakaman, angka genap harus dihindari karena tidak ada yang mengharapkan “kemalangan datang dua kali”.
Pengucapan angka 3 yakni San (Hanzi: 三, Pinyin: Sān), memiliki kemiripan dengan pengucapan San (Hanzi: 散, Pinyin: Sàn) yang artinya terpisah, sehingga saat merayakan ulang tahun atau memilih tanggal pernikahan, orang cenderung menghindari tanggal yang berhubungan dengan angka 3.
Selain itu, saat mengirim hadiah ulang tahun atau hadiah pernikahan, angka 3 harus dihindari.
Angka 4 dalam bahasa Tionghoa dibaca Si (Hanzi: 四, Piynyin: Sì) memiliki pengucapan yang mirip dengan kata kematian dalam bahasa Tionghoa yakni Si (Hanzi: 死, Piynyin: Sǐ), yang berarti sial, sehingga ketika memilih nomor rumah, nomor mobil, nomor telepon, dan nomor ponsel, angka 4 selalu dihindari.
Dalam bahaa Tionghoa angka 5 diucapkan Wu (Hanzi: 五, Pinyin: Wǔ) memiliki pengucapan yang mirip dengan Wu dalam bahasa Tionghoa yang artinya tidak ada (Hanzi: 无, Pinyin: Wú), sehingga kegiatan pada tanggal yang terkait dengan angka 5 sering dihindari karena dianggap sial.
Lahir pada tanggal lima bulan lima kalender lunar, sering seringkali tidak disukai.
Dikatakan bahwa dalam pandangan orang dahulu, bulan lima dalam kalender lunar adalah hari jahat di bulan jahat.
Jadi itu hari terburuk dalam setahun.
Bahkan anak-anak yang lahir pada hari ini akan dianggap merugikan orang tuanya, sehingga orang tua menelantarkan anak itu atau mengubah hari kelahiran bayinya.
Dahulu ada aturan Qichu (Hanzi: 七出, Pinyin: Qī chū) yang merupakan tujuh alasan cerai yang ditujukan untuk wanita.
Jika mereka melakukan tujuh dosa, suami mereka akan menceraikan mereka.
Oleh karena itu ketika orang menikahkan anak perempuan, angka 7 selalu berusaha dihindari.
Di beberapa tempat, usia 36 tahun juga dihindari, karena dianggap sebagai hal yang tabu.
Ada pepatah lama yang berbunyi seperti ini, “Ketika seseorang berusia 36 tahun, dia akan tersandung dan jatuh. Seseorang yang berusia 36 tahun akan mengalami tuntutan hukum atau terpaksa menjual rumahnya.”
Pada usia 36 tahun, beberapa orang akan membuat pesta dan mengundang kerabat dan teman-teman mereka untuk merayakan ulang tahun sebelumnya.
Pengunjung akan menyalakan petasan di rumah tuan rumah untuk mengusir nasib buruk.
Usia 45 tahun juga dianggap tabu oleh orang-orang zaman dahulu, seperti kata pepatah, “Ketika orang mencapai usia 45 tahun, mereka seperti tanaman lemas yang kekurangan sinar matahari.”
Dengan demikian orang akan berpura-pura menjadi satu tahun lebih tua atau lebih muda dari 45 dengan sengaja.
Beberapa orang akan meminta keluarga untuk membuat celana dalam merah atau ikat pinggang untuk mengusir roh jahat di usia 45.
Di beberapa tempat, usia 66 juga dihindari sebagai hal yang tabu.
Diyakini bahwa usia 66 adalah masa yang sulit bagi orang tua.
Pepatah legendaris mengatakan sebagai berikut, “Pada usia 66, Dewa Kematian ingin membunuhmu.”
Apalagi angka 73 dan 84.
Angka ini dihindari karena dianggap tabu karena pepatah lama, “Mencapai usia 73 atau 84, kamu akan masuk neraka bahkan Dewa Kematian tidak mengundangmu.”
Ada legenda lain yang mengatakan bahwa dua orang bijak Tiongkok, Konfusius meninggal pada usia 73 tahun sedangkan Mencius pada usia 84 tahun.
Bahkan orang bijak seperti Konfusius dan Mencius tidak bisa lepas dari kutukan 73 dan 84, apalagi orang normal.
Jadi kedua angka ini dianggap sebagai titik kritis kehidupan.
Jika dapat hidup melalui 73, kamu melewati masa-masa sulit, dan kamu setidaknya dapat bertahan sampai 84.
Jika kamu bisa hidup sampai 84, kamu bisa hidup selama 100 tahun.
Angka 81 dihindari sebagai hal yang tabu, karena ada pepatah, “Sembilan kali sembilan kita dapat satu, rejeki atas kekayaan telah habis, dan keturunannya akan miskin selamanya.”
Jadi di banyak tempat, angka 81 dihindari.
Di beberapa tempat, angka 9 dihindari sebagai hal yang tabu karena dalam ide matematika kuno, angka 1,3,5,7 dan 9 dianggap sebagai Yang sedangkan 2,4,6 dan 8 sebagai Yin dan angka 9 adalah ekstrim dari Yang.
Ada pepatah lama yang berbunyi seperti ini, “Segala sesuatu selalu berbalik dengan sendirinya setelah mencapai ekstrim.”
Pepatah ini menunjukkan bahwa keuntungan akan berubah menjadi kerugian dan naik akan berubah menjadi turun.
Jadi usia yang berhubungan dengan 9 juga dihindari, dianggap sebagai hal yang tabu oleh orang-orang, karena mereka percaya itu akan membawa mereka kepada nasib buruk.
Angka Keberuntungan
Angka keberuntungan biasanya adalah angka genap.
Oleh karena itu, ketika memilih tanggal pernikahan, angka ganjil dihindari sebagai hal yang tabu.
Untuk satu hal, orang berharap “Kebahagiaan datang dua kali lipat.”
Orang cenderung memilih angka 6 dan 8 dengan alasan bahwa, dalam bahasa Tionghoa angka 8 yang diucapkan Ba (Hanzi: 八, Pinyin: Bā), memiliki pengucapan yang mirip dengan Fa (Hanzi: 发, Pinyin: Fā), yang berarti menghasilkan banyak uang dalam bahasa Tionghoa.
Dahulu, pedagang selalu memilih hari yang berhubungan dengan 8 untuk melakukan perjalanan jauh.
Sampai sekarang pepatah beruntung, “Jika ingin menjadi kaya, harus bergantung pada angka 8.”
Dalam bahasa Tionghoa, angka 6 diucapkan Liu (Hanzi: 六, Pinyin: Liù) memiliki pengucapan yang mirip dengan Liu (Hanzi: 溜, Pinyin: Liū) yang berarti semuanya akan berjalan lancar.
Jika enam berjalan setelah enam lainnya, itu bahkan lebih baik, karena dua enam berarti “六六大顺 (liù liù dà shùn).”
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.