Found 22 bookmarks
Custom sorting
Dewa Siung Ti Kung (兄弟公)
Dewa Siung Ti Kung (兄弟公)
Dewa Siung Ti Kung (Simplified: 兄弟公, Traditional: 兄弟公, Pinyin: Xiōng Dì Gōng, Hokkien: Ya Ti Kong) atau 108 Pahlawan Suci (108 Bersaudara dari Hainan) adalah para dewa pelindung laut dan biasanya dipuja bersama-sama dengan Dewi Shui Wei Sheng Niang. Mereka biasanya dipuja pada klenteng di dekat laut dan oleh para nelayan atau orang yang bekerja di bidang pelayaran. Meskipun berjumlah 108, rupang Dewa Xiong Di Gong yang diletakkan di altar biasanya hanya satu, yaitu seorang pelajar berwajah merah. Dewa Xiong Di Gong berpengaruh besar terhadap kehidupan keagamaan di Hainan. Pemujaannya tersebar bersama para imigran dari Hainan. Oleh sebab itu, pemujaan Dewa Xiong Di Gong menjadi salah satu simbol bagi suku Hainan di seluruh dunia. Altar Dewa Xiong Di Gong (兄弟公) pada foto ini berada di Klenteng Cao Fuk Miao Denpasar Bali . Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Dewa Siung Ti Kung (兄弟公)
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟)
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟)
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟) / Vihara Tanda Bhakti Berlokasi di pinggir kali Krukut, tepatnya di Jl. Kemenangan III Gang 6 no 97, Blandongan, Kelenteng ini memiliki tampilan arsitektur yang unik. Klenteng Tan Seng Ong ini juga merupakan (tuan) rumah bagi sang Dewa Pelindung, Tan Seng Ong. Menurut buku Da Jiang Hao Hai Yin Hua Fung Yu, Klenteng Tan Seng Ong berdiri sejak 1756. Dibangun pasca peristiwa Geger Pecinan, suatu peristiwa sadis pembunuhan lebih dari sepuluh ribu etnis Tionghoa di Batavia oleh tentara Belanda pada saat itu. Akibatnya sebagian besar orang Tionghoa yang bermukim di Batavia dan Jawa Barat menjadi orang pelarian ke daerah sekitar Jawa Tengah dan ikut serta memberontak dan menentang Belanda. Mereka lalu bergabung dengan masyarakat suku Jawa yang juga melawan VOC dan mengobarkan Perang Sepanjang di pulau Jawa, yang berlangsung selama 4 tahun (1740-1743). Pasca peristiwa tersebut, selama beberapa tahun Batavia menjadi kota mati. Setiap hari masyarakat Tionghoa sembahyang kepada Dewata yang dibawa serta dari kampung halaman, salah satunya yaitu Tan Seng Ong. Sedikit mengenai riwayatnya, dulunya Tan Seng Ong yang kelahiran tahun 657 dan hidup sampai tahun 711 adalah seorang pejabat militer dan pendiri daerah Zhang Zou, Provinsi Fujian di Tiongkok. Beliau bernama Chen Yuan Guang, yang hidup pada jaman Dinasti Tang, masa pemerintahan Kaisar wanita Wu Ze Tian. Di Indonesia, pemujaan terhadap beliau dimulai dari kaum imigran Hokian yang bermarga Tan (Chen) yang berasal dari Zhang Zhou dan Quan Zhou, yang meninggalkan kampung halaman dan menyeberangi lautan untuk mencari mata pencaharian dan membawa serta budaya penyembahannya ke tempat pemukiman baru untuk sembahyang meminta dan berharap agar masyarakat setempat juga terlindungi, hidup selamat, harmonis dan aman sentosa. Komunitas Hokkian di Batavia pada masa itu cukup besar, mereka pada masa yang suram dan penuh derita itu ikut serta membangun Batavia dengan salah satu peninggalannya adalah Klenteng Tan Seng Ong ini. Bio Tan Seng Ong Jakarta adalah lambang, tanda dan gambaran pergulatan hidup nenek moyang Tionghoa sejak ratusan tahun lalu, dengan jerih payah menebas onak dan duri, mengatasi bencana dan musibah khususnya pasca Peristiwa Geger Pecinan dan terus bertahan hingga saat ini. Sejak tahun 2014 lalu, Klenteng Tan Seng Ong mendapatkan pengakuan khusus dari Pemerintah Indonesia melalui Pemprov DKI Jakarta, menjadikan kelenteng ini sebagai salah satu warisan sejarah dan ragamnya budaya yang bernilai di tanah air. Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Klenteng Tan Seng Ong / Chen Shi Zu Miao (陳氏祖廟)
Video-Video Kelenteng Cao Fuk Miao Denpasar
Video-Video Kelenteng Cao Fuk Miao Denpasar
document.createElement('video'); https://www.tionghoa.org/resources/mp4/kelenteng-caofukmiao-denpasar-video-20211218-110249.mp4 https://www.tionghoa.org/resources/mp4/kelenteng-caofukmiao-denpasar-video-20211218-093751.mp4 Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Video-Video Kelenteng Cao Fuk Miao Denpasar
Sekilas Kelenteng Sam Kuan Tai Tie, Kelenteng Tertua di Batavia
Sekilas Kelenteng Sam Kuan Tai Tie, Kelenteng Tertua di Batavia
Kampung Marunda di Cilincing Jakarta Utara ternyata tidak saja tersohor karena “Kampung Si Pitung”, tokoh legendaris Betawi, ternyata di sana juga terselip sebuah kelenteng yang kabarnya tertua di Batavia (kini Jakarta). Nama kelenteng itu adalah Vihara Latilavistara. Kelenteng Sam Kuan Tai Tie di masa Batavia dulu Kelenteng itu terletak di Jalan Krematorium Cilincing, Jakarta Utara. Berada satu kompleks dengan Sekolah Tinggi Agama Buddha “Maha Prajna”. Di sebelah kompleks kelenteng terdapat rumah penitipan abu jenazah. Di belakangnya terdapat pagoda menjulang tujuh tingkat. Pagoda ini tercatat satu-satunya dan tertua di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Dulu pagoda ini dapat dimasuki dan dinaiki pengunjung. Kini hanya bisa dipandang karena bangunan pagoda semakin miring. Guna menjaga keutuhan cagar budaya ini sekaligus keselamatan pengunjung, bangunan pagoda dilarang dimasuki apalagi apalagi dinaiki. Catatan sejarah menyebutkan, kelenteng ini dibangun persis pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen. Dulu Kelenteng ini bernama Sam Kuan Tai Tie. Pada awal abad ke-16 banyak kapal layar Tiongkok singgah di Pulau Jawa. Di antaranya, sebuah kapal yang hendak berlabuh di pantai Cilincing. Pada masa itu, Cilincing merupakan salah satu pelabuhan kecil di utara Pulau Jawa. Kapal tersebut kandas di tempat dangkal. Halaman depan Kelenteng Sam Kuan Tai Tie Cilincing Jakarta Utara Berbagai upaya dilakukan awak kapal untuk mengembalikan posisi kapal. Sayang, usaha itu berujung kesia-siaan. Mereka nyaris putus asa sehingga hari-hari panjang yang membosankan diisi dengan hanya menatap deburan pantai serta burung bangau singgah menyantap ikan-ikan kecil di pesisir pantai. Suatu hari, ketika menyelusuri pantai, awak kapal menemukan sebilah papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie. Mereka tahu bahwa tulisan yang tertera di papan itu merupakan nama kelenteng di daratan Tiongkok. Mereka sepakat membawa papan itu ke kapal. Tiba di kapal, awak kapal pun menggelar sembahyang sambil berucap janji: bila kapal yang kandas ini bisa lepas maka mereka akan melakukan upacara sembahyang buah. Tengah malam, tiba-tiba air laut menjadi deras. Pelan-pelan posisi kapal berubah. Singkat kata: kapal dapat terapung kembali ke tengah laut. Sesuai janji, awak kapal pun, esok harinya turun ke darat dan menyandarkan papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie pada sebuah pohon besar tak jauh dari pantai Cilincing. Di sana mereka menggelar sembahyang buah. Selesai ritual itu, awak kapal pun kembali ke kapal dan meneruskan perjalanan balik ke Tiongkok. Papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie ditinggalkan di pohon besar. Papan Aksara Tiongkok Sempat Hilang Cerita itu tersebar ke mana-mana. Banyak orang berbondong-bondong untuk melihat papan bertuliskan aksara Tiongkok itu. Di antaranya, ada seorang perajin sepatu. Dia mengaku, doanya terkabulkan setelah mengunjungi papan berhuruf aksara Tiongkok itu. Ia lalu membuat pondok untuk papan tersebut. Suatu hari tersiar kabar papan itu hilang dari pondok. Masyarakat Cilincing pun gempar. Beberapa tahun kemudian ada sekelompok masyarakat Tionghoa membeli tanah di Cilincing. Mereka pun ternyata mencari papan Sam Kuan Tai Tie. Seorang di antaranya diketahui pria asal Tiongkok bermarga Oey. Suasana Kelenteng Sam Kuan Tai Tie Cilincing Usaha pencarian terus dilakukan. Tanpa disengaja, salah seorang bermarga Oey menemukan sosok tubuh pria terkapar di pekarangan dekat sebuah rumah yang agak terpencil di wilayah Cilincing. Tak jauh dari lokasi tanpa sengaja ditemukan papan bertuliskan Sam Kuan Tai Tie yang mereka cari. Papan masih dalam keadaan utuh, terletak di atas onggokan abu bekas api unggun. Ternyata pria yang terkapar itu adalah seorang perampok. Dia berniat merampok. Untuk maksud itu, ia menemui papan Sam Kuan Tai Tie. Alhasil, dia malah kena petaka. Pria itu marah besar dan akan membakar papan itu. Yang terjadi malah sebaliknya: dia mati dengan tubuh lunglai tanpa daya. Sejak kejadian itu, masyarakat Tionghoa bermarga Oey sepakat guna merawat serta menjaga papan bertuliskan aksara Tiongkok itu. Di atas tempat papan Sam Kuan Tai Tie lalu didirikan sebuah kelenteng kecil. Itulah kelenteng tertua di Batavia. Kelenteng ini kini dilindungi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sebagai cagar budaya sehingga harus dijaga kelestariannya. Sumber: www.sinarharapan.co/metropolitan/read/32348/mengintip_latilavistara__kelenteng_tertua_di_batavia
·tionghoa.org·
Sekilas Kelenteng Sam Kuan Tai Tie, Kelenteng Tertua di Batavia