Found 3 bookmarks
Custom sorting
Kisah Asal Usul Idiom Tiongkok – Bergerak Cepat Dengan Kekuatan Tak terbendung (长驱直入)
Kisah Asal Usul Idiom Tiongkok – Bergerak Cepat Dengan Kekuatan Tak terbendung (长驱直入)
Pada 219 M, Cao Cao (Hanzi: 曹操, Pinyin: Cáo Cāo) bertempur dengan Liu Bei (Hanzi: 刘备, Pinyin: Liú Bèi) untuk merebut Jingzhou (Hanzi: 荆州, Pinyin: Jīngzhōu) yang penting secara strategis. Jenderal Liu Bei, Guan Yu (Hanzi: 关羽, Pinyin: Guān Yǔ) mengepung Xiangyang (Hanzi: 襄阳, Pinyin: Xiāngyáng) dengan pasukan berat, dan sepupu Cao Cao, Cao Ren (Hanzi: 曹仁, Pinyin: Cáo Rén), mempertahankan Fancheng (Hanzi: 樊城, Pinyin: Fánchéng) yang berdekatan dengan Xiangyang, dan situasinya cukup sulit. Pada bulan Juli tahun tersebut, Cao Cao mengirim Jenderal Huwei Yu Jin (Hanzi: 胡卫于瑾, Pinyin: Hú wèi yú jǐn) untuk memimpin pasukan guna memperkuat Cao Ren. Saat itu, daerah Fancheng terus diguyur hujan deras, dan terjadi banjir. Guan Yu mengambil kesempatan untuk mengalihkan air untuk membanjiri pasukan Cao Ren untuk melenyapkannya dan memaksa mereka untuk menyerah. Cao Ren berada dalam kondisi kritis saat banjir melanda Fancheng. Beberapa jenderal membujuknya untuk meninggalkan Fancheng dan mundur dengan perahu. Namun, beberapa orang sangat keberatan, mengatakan bahwa tidak mungkin air sebesar ini selamanya, dan akan surut dalam beberapa saat, jadi lebih baik bertahan. Cao Ren berpikir itu masuk akal dan memutuskan untuk tetap berpegang pada Fancheng. Segera, Cao Cao mengirim jenderalnya Xu Huang (Hanzi: 徐晃, Pinyin: Xú Huǎng) untuk memimpin pasukannya ke Fancheng untuk membebaskan pengepungan. Dengan kepandaiannya dalam dalam strategi perang, Xu Huang memiliki rencana, dia tidak mengirim pasukan langsung ke Fancheng untuk saat ini, tetapi ditempatkan sedikit lebih jauh, dan kemudian mengirim seseorang untuk menembakkan surat ke Fancheng dengan panah gelap untuk menghubungi Cao Ren. Kebetulan Cao Cao masih mengorganisir bala bantuan pasukan dan kuda. Dia mengetahui bahwa tindakan Xu Huang sangat menyenangkan, dan memintanya untuk menunggu pasukan dan kuda dari segala arah tiba dan berkendara ke Fancheng bersama-sama. Saat itu, sebagian dari pasukan Liu Bei sedang ditempatkan di Yancheng (Hanzi: 盐城, Pinyin: Yánchéng), tidak terlalu jauh dari Fancheng. Xu Huang memimpin beberapa pasukan ke pinggiran Yancheng dan sengaja menggali lubang, seolah-olah untuk memotong mundurnya pasukan Yancheng. Saat garnisun sedang menghadapinya, dan dia segera mengevakuasi Yancheng. Jadi Xu Huang dengan mudah mendapatkan kota itu. Pada saat ini, pasukan Rute ke-12 yang diorganisir oleh Cao Cao telah tiba. Jadi Xu Huang dan para prajurit dan kuda ini bergabung bersama, berencana untuk menyerang Guan Yu. Guan Yu menempatkan pasukannya di Weitou (Hanzi: 卫头, Pinyin: Wèitóu) dan Sizhong (Hanzi: 四中, Pinyin: Sì zhōng). Xu Huang berpura-pura menyerang Weitou di permukaan, tetapi sebenarnya dia secara pribadi memimpin pasukan untuk menyerang Sizhong. Pada saat Guan Yu menemukan arah serangan utama Xu Huang, semuanya sudah terlambat. 5.000 tentara yang bergegas ke empat gundukan dengan cepat dikalahkan oleh Xu Huang. Kemudian Xu Huang memimpin bawahannya dan bergegas ke dalam pengepungan Guan Yu terhadap Cao Ren. Tentara Guan Yu dikalahkan dan pergi, Xiangyang dan Fancheng akhirnya dikuasai. Kabar baik Xu Huang sampai ke Cao Cao, dan Cao Cao segera menulis pesan:”Saya telah menggunakan tentara selama lebih dari 30 tahun. Di antara orang-orang yang pandai menggunakan tentara di jaman kuno, tidak ada orang yang bisa berlari dengan kuda untuk jarak jauh tanpa berhenti seperti Xu Huang, terus bergerak maju, dan bergegas ke dalam pengepungan musuh.” Dari sinilah idiom 长驱直入 berawal. Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Kisah Asal Usul Idiom Tiongkok – Bergerak Cepat Dengan Kekuatan Tak terbendung (长驱直入)
Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende
Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende
Ang Hauw Lang dan istri (Veronica Surati) Mengunjungi Kupang, Nusa Tenggara Timur, saya amat berbahagia karena mendapatkan informasi penting dari bapak Theo Widodo, seorang tokoh masyarakat dan juga merupakan pimpinan Perhimpunan INTI Indonesia Tionghoa) NTT. Pak Theo menyampaikan kepada saya tentang kisah sosok pejuang bernama Ang Hauw Lang. Satu kehormatan juga diperkenalkan dengan keturunan (cicitnya) bernama Melly. Ang Hauw Lang (AHL) adalah tokoh penting yang hadir mengisi ruang sejarah bangsa ini pada saat Bung Karno diasingkan ke Ende pada tahun 1934 sd 1938. Dalam film berjudul “Ketika Bung Di Ende” (produksi tahun 2013, didanai oleh Kemendikbud) yang diantara pemerannya adalah Baim Wong dan Paramita Rusady itu, sosok AHL ikut ditampilkan dalam beberapa adegan. Peran AHL kala Bung Karno diasingkan adalah menjadi penyampai surat-surat dari Bung Karno kepada kawan-kawan seperjuangannya di pulau Jawa dan juga sebaliknya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan baik karena beliau adalah seorang pengusaha yang berniaga antar pulau saat itu. Bukan hal yang mudah dapat melakukan kegiatan berbahaya tersebut, karena sebagai tahanan politik, Bung Karno diawasi secara ketat oleh pihak Belanda, siapa pun yang tampak berhubungan dengannya dipastikan menimbulkan kecurigaan dari pihak Belanda. Bagaimana tidak diawasi, Bung Karno adalah tokoh penting penggagas kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa Belanda. Keberanian AHL untuk menjadi kurir bagi surat-surat penting tersebut mendapatkan apresiasi tinggi dari Bung Karno, bahkan beliau menganggap AHL sebagai bapak angkatnya. Ada satu kisah menarik yang peristiwanya teejadi setelah kemerdekaan, yakni sekitar awal tahun 1960an. Dalam suatu kesempatan, beliau mendatangi langsung istana kepresidenan di Jakarta dan memberitahukan kepada para penjaga jika beliau ingin bertemu presiden, “Saya ingin berjumpa Nak Karno!” begitu ujarnya. Mengetahui AHL yg datang, Bung Karno menyambut dan menerima beliau di istana. Selama di Jakarta, AHL diberikan penginapan di Hotel Indonesia. Ada peristiwa lainnya yang menarik dan menyentuh hati, yakni penolakan beliau terhadap permintaan Bung Karno agar jika nanti meninggal dunia dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Alasan penolakan adalah beliau ingin nantinya dimakamkan berdampingan bersama istri tercinta (Veronica Surati), yang tentu saja hal tersebut tak dapat diwujudkan jika beliau dimakamkan di TMP. Keinginan mulia yang akhirnya terwujud. Ketika Ang Hauw Lang meninggal dunia (15 Januari 1963) melalui utusannya, Bung Karno mengirimkan karangan bunga dan bendera merah putih besar menutupi peti dan tulisan yang menerangkan jika Ang Hauw Lang adalah Pejuang Kemerdekaan. Dan ada kesaksian lain yang perlu ditelusuri kebenarannya lebih jauh, bahwa prosesi pemakamannya juga dilakukan secara militer yakni dengan iringan tembakan salvo. Peran beliau adalah bagian penting dari sejarah perjalanan kemerdekaan bangsa, seperti setiap potongan puzzle yang menjadi bagian penting untuk dapat membentuk suatu gambar yang utuh. Tugas kita sebagai generasi penerus utk mengenang dan meneladani jasa-jasanya. Dari perjalanan kemarin, saya masih mendapatkan potongan-potongan cerita tak lengkap tentang beliau, amatlah menyedihkan jika nantinya nama beliau benar-benar terlupakan. Kisah-kisah seperti ini akan lenyap jika hanya mengandalkan cerita dari mulut ke mulut, dan inilah yang terjadi pada peran sejarah perjuangan orang-orang Tionghoa di indonesia, saatnya untuk mencatat dan mengabarkannya. Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende By Azmi Abubakar Senin, 27 Desember 2021 Sumber: https://geotimes.id/kolom/ang-hauw-lang-1897-1963-pejuang-kemerdekaan-dari-ende/ Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
·tionghoa.org·
Ang Hauw Lang (1897-1963), Pejuang Kemerdekaan dari Ende