Aneka Pola Jianzhi, Seni Menggunting Kertas Tiongkok
Apa itu jianzhi?
Seni menggunting kertas / jianzhi (hanzi: 剪纸 pinyin: jiǎn zhǐ) adalah bentuk budaya dan seni rakyat Tiongkok.
Jianzhi adalah seni mengguting kertas yang menggunakan kertas berwarna cerah dengan gunting dan cutter/pisau.
Warna dalam jianzhi
Dari sudut pandang warna, seni menggunting kertas Tiongkok ini dibagi menjadi dua jenis: “monokrom” dan “warna-warni”.
Potongan kertas monokrom sebagian besar menggunakan kertas berwarna merah yang indah. Sedangkan potongan kertas warna-warni, ceria penuh warna dan sangat indah.
Warna-warni (sebelah kiri) & Monokrom (sebelah kanan)
Siapa yang membuat jianzhi pada jaman dahulu?
Sebagian besar seni menggunting kertas Tiongkok berasal dari tangan wanita petani, sehingga sebagian besar polanya adalah sesuatu yang paling diperhatikan dan paling disukai oleh mereka.
Karena kebiasaan hidup orang di setiap tempat berbeda-berbeda, gaya menggunting kertas juga berbeda-beda.
Aneka pola jianzhi
Di Tiongkok bagian barat, sebagian besar adalah Chuang Hua (hanzi: 窗花 pinyin: chuāng huā).
Contoh Jianzhi Chuanghua
Di Tiongkok bagian timur laut, sebagian besar adalah karakter opera.
Contoh Jianzhi karakter opera
Sedangkan di Tiongkok bagian selatan, sebagian besar adalah bentuk bunga.
Contoh Jianzhi bentuk bunga
Seni menggunting kertas Tiongkok telah memenangkan cinta orang-orang di seluruh dunia dengan keindahan dan keunikannya.
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Chuanghua (窗花), Seni Prakarya Memotong Kertas Tiongkok
Chuanghua (Hanzi: 窗花, Pinyin: chuānghuā) adalah jenis lain dari nianhua (Hanzi: 年画, Pinyin: niánhuà). Secara harafiah, chuanghua berarti bunga jendela. Chuanghua merupakan suatu bentuk prakarya memotong kertas dengan sejarah yang panjang.
Orang Tiongkok kuno telah mengembangkan pemotongan kertas menjadi bentuk seni yang indah. Untuk membuatnya, membutuhkan pikiran kreatif, ketrampilan bakat, dan upaya berbulan-bulan. Pola potongan kertas rumit, biasanya dibuat dengan kertas biasa menggunakan banyak desain tradisional.
Setelah selesai, chuanghua akan ditempel di jendela.
Seperti nianhua, chuanghua tidak hanya indah dan menambah kemeriahan tahun baru imlek, tetapi juga menyiratkan harapan dan kebahagiaan dan keberuntungan.
Tema chuanghua pada umumnya adalah bunga, hewan, karakter dalam opera, serta legenda dan mitos.
Bunga
Anjing
Burung
Tulisan 福 dan harimau
Burung Phoenix
Burung Phoenix
Ikan
Karakter Opera Tiongkok
Karakter Opera Tiongkok
Sun Go Kong (Hanzi: 孙悟空, Pinyin: Sūnwùkōng)
Tulisan Fu (Hanzi:福, Pinyin: Fú)
Tulisan musim semi (Hanzi:春, PInyin: chūn) dan kebahagiaan (Hanzi: 福, Pinyin: fú)
Tulisan Fu
Terima kasih telah membaca, silahkan kunjungi Tionghoa Indonesia untuk artikel-artikel lain yang lebih menarik.
Go Tik Swan (Hardjonagoro) bersama Presiden Soekarno dalam sebuah acara di Istana Negara
Namanya Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) Hardjonagoro. Dari gelar yang disandang di depan namanya sudah pasti ia adalah sosok penting yang di dalam raganya mengalir “darah biru” dari sebuah kesultanan atau kerajaan di Pulau Jawa.
Bukan, ia hanyalah seorang rakyat biasa, dan terlahir sebagai keturunan Tionghoa. Sumbangsihnya terhadap pelestarian budaya Jawa-lah yang membuat Keraton Surakarta menganugerahinya gelar prestisius tersebut.
Go Tik Swan, sebuah nama yang diberikan ayahnya, Gho Ghiam Ik, seorang penguasaha batik ternama di Surakarta kepadanya ketika lahir di Desa Kratonan, Serengan, Surakarta pada 11 Mei 1931 silam.
Di kemudian hari Tik Swan menjelma menjadi seorang keturunan Tionghoa yang sangat mencintai dan dianggap sebagai pelestari budaya Jawa, melebihi orang-orang yang memang terlahir sebagai orang Jawa. Peraih anugerah Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini telah menciptakan 200 motif batik yang terkenal dengan trade marknya, Batik Indonesia. Sebagai anak dari keluarga terpandang maka Saat menginjak usia 7 tahun Tik Swan menempuh pendidikan dasarnya di Neutrale Europesche Lagere School (NELS) di Surakarta. Sebuah sekolah yang latar belakang siswa-siswinya berasal dari kalangan keluarga terpandang seperti warga keraton, anak-anak ningrat, pemuka masyarakat, serta pejabat.
Namun, kesibukan kedua orang tuanya membuat Tik Swan lebih banyak diasuh oleh kakeknya, Tjan Khay Sing yang juga seorang pengusaha batik. Kakeknya merupakan pengusaha batik nomor satu di Solo yang memiliki empat lokasi pembatikan, yakni dua di Kratonan, dan sisanya di Ngapenan dan Kestalan. Berada di lingkungan pembatik, hari-hari Tik Swan dilalui bersama para pekerja yang membersihkan malam dari kain, mencuci, membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, menulisi kain dengan canting, dan sejumlah aktivitas pembuatan batik lainnya.
Lingkungan itulah yang kemudian membentuknya menjadi seseorang yang mulai menunjukkan ketertarikannya pada budaya tradisional Jawa. Tik Swan selalu terlihat anstusias ketika pada pembatik bekerja sembari menembang lagu-lagu jawa, atau ketika mendengar dongeng-dongeng yang bercerita tentang kebudayaan Jawa.
Lazimnya anak kecil yang gampang berubah-ubah minat dan ketertarikannya, tidak demikian dengan Tik Swan. Ketertarikannya terhadap tradisi dan budaya justru semakin tumbuh dan subur seiring pertambahan usianya. Segala sesuatu yang berbau seni tradisional Jawa selalu menyedot perhatiannya. Gayung bersambut, tak jauh dari kediaman kakeknya di Coyudan, berdiri sebuah klenteng yang kerap mengadakan pertunjukan wayang, pertunjukan yang membuatnya sering mampir untuk menonton. Dari wayang ini pula ketertarikan Tik Swan tumbuh pada tari-tari Jawa, sehingga memutuskan berguru kepada putra Pakubuwono IX yakni G.P.H. Prabuwinata yang dikenal sebagai seniman keraton yang ahli di bidang karawitan, tari dan pedalangan. Minat Tik Swan ternyata ditentang oleh kedua orangtuanya. Namun gairahnya mendalami budaya Jawa tak terbendung. Ia mengabaikan tentangan tersebut.
Orangtua Tik Swan punya cara menjauhkan putra sulungnya dari dunia tari dan ragam budaya jawa lain yang digeluti anaknya. Pada tahun 1953, ia kemudian diminta menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Cara itu ternyata tak efektif membendung seorang Tik Swan yang sedang kasmaran terhadap budaya Jawa. Tanpa sepengetahuan orangtuanya Tik Swan justru memilih kuliah di Fakultas Sastra Dan Filsafat, Jurusan Sastra Jawa UI. Di sini ia justru lebih mendalami aksara Jawa, menonton wayangan dan tari-tari Jawa.
Betapa murkanya sang ayah ketika mengetahui kebohongan Tik Swan. Tak tanggung-tanggung, ayahnya mengancam segala biaya dan fasilitas ditarik. Tik Swan tetap teguh pada pilihannya dan mengabaikan ancaman sang ayah.
Batik Indonesia
Karena kepiawaiannya membawakan tari-tari Jawa, membuat Tik Swan sering diundang untuk tampil di berbagai pertunjukan. Dalam pentas-pentas ini Tik Swan mulai memperkenalkan nama Indonesia, yakni Hardjonagoro, yang kemudian menjadi nama panggungnya. Hardjonagoro sendiri adalah sebuah pasar di Solo yang dimiliki oleh kakek buyutnya bernama Tjan Sie Ing. Kala itu di tahun 1955 Universitas Indonesia merayakan hari ulang tahunnya. Hardjonagoro bersama rombongan tarinya berkesempatan tampil membawakan tarian Gambir Anom di Istana Negara Jakarta. Sebuah kesempatan langka tampil di hadapan Presiden Soekarno.
Mengetahui salah satu penari adalah pria keturunan Tionghoa dan latar belakang keluarganya sebagai penguasaha batik turun-temurun, Presiden Soekarno menghampirinya. Sang Proklamator kemudian menyarakan kepadanya agar menciptakan batik yang mewakili identitas Indonesia, tak sekedar beridentitas lokal.
Saran Soekarno bak motivasi besar bagi perjalanan hidup Hardjonagoro. Pada tahun yang sama ia memutuskan meninggalkan bangku kuliahnya, pulang ke kampung halamannya, mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.
Tak sukar baginya menemukan tempat dan guru yang tepat mempelajari batik secara holistik. Kedekatannya dengan keluarga Keraton Solo memungkinkannya belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum di tangan Hardjonagoro dikembangkan sedemikian rupa tanpa menghilangkan ciri khasnya. Pola-polanya diberi sentuhan warna-warna cerah seperti yang diajarkan Ibu Soed gurunya, pencipta lagu yang dikenal piawai dalam seni batik.
Hardjonagoro juga mengembangkan motif-motif baru pada batiknya. Batik dengan warna dan motif baru seperti Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Rengga Puspita dan Pisan Bali adalah hasil eksplorasinya menciptakan Batik Indonesia. Kerja keras dan inovasi Hardjonagoro mengantarkan batik ke masa jaya di tahun 1960-1970. Ia tak hanya menciptakan batik dengan warna dan motif indah untuk mempercantik pemakainya, namun juga menjadikan batik sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi.
Kesuksesan itu kembali mempertemukannya dengan sang motivator, siapa lagi kalau bukan Presiden Soekarno. Hardjonagoro kerap diundang Soekarno menjelaskan batik kepada tamu-tamu negara yang berkunjung ke Indonesia. Tak hanya itu, ia juga mendapat tugas sebagai anggota Panitia Negara Urusan Penerima Kepala Negara Asing yang bertanggung-jawab menyelenggarakan pameran batik di Istana Negara, termasuk mendesain batik untuk cinderamata para tamu.
Sepanjang karirnya dari tahun 1950an hingga 2008, Hardjonagoro telah menciptakan sekitar 200 motif batik Indonesia, bahkan diantaranya banyak yang menjadi koleksi museum-museum di Eropa, Amerika, Australia, serta para kolektor batik. Salah satu kolektor batiknya tak lain adalah putri Soekarno, Megawati Soekarnoputri. Ia menciptakan sebuah motif yang khusus diperuntukkan bagi putri praklamator itu dan diberi nama Parang Megakusumo.
Gelar Kebangsawanan
Kontribusi besar perjalanan hidup Hardjonagoro dalam mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa membuatnya dianugerahi banyak penghargaan. Kedekatannya dengan keluarga Pakubuwono serta kesetiaannya mengabdi pada keraton Kasunanan memprakarsai lahirnya Art Gallery Karaton Surakarta. Hal inilah yang membuat Sri Sultan Pakubuwono XI menganugerahkan Go Tik Swan pangkat Bupati Anom bergelar Raden Tumenggung (R.T) Hardjonagoro pada 11 September 1972.
Tak berhneti sampai di situ, di tahun 1984, pangkatnya kembali dinaikkan setingkat lebih tinggi, menjadi Bupati Sepuh, dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.). Begitu pula sepuluh tahun kemudian, pangkatnya kembali dinaikkan menjadi Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Hariyo Tumenggung (K.R.H.T.). Bahkan di tahun 1998 Hardjonagoro mendapat gelar pangerannya, yaitu Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) dan gelar keduanya sebagai Kangjeng Pangeran Aryo (K.P.A.) di tahun 2001.
Atas jasa-jasanya sebagai budayawan dan pembatik, Presiden kenam RI Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah memberikan penghargaan sebagai putra terbaik dengan tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma yang diterima ahli warisnya KRAr Hardjo Suwarno dan istrinya, Supiyah Anggriyani pada tahun 2011 lalu.
Bagi Hardjonagoro bukanlah anugerah gelar atau pangkat yang ia cari, melainkan pengabdian dalam melestarikan budaya itu sendiri, dalam hal ini budaya Jawa hingga akhir hidupnya.(Rafael Sebayang)
Sumber: www.validnews.id/Go-Tik-Swan–Maestro-Batik-Keturunan-Tionghoa-MxQ